Jumat, 20 Juli 2007

Ruang Publik: Kebutuhan Demokrasi

Ruang Publik: Kebutuhan Demokrasi

Sesampai di Medinah pada tanggal 27 September 622 M, langkah awal yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah membangun masjid. Masjid ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawy. Baru setelah masjid terbangun, dakwah yang lebih luas dilakukan, ekonomi digalakkan, relasi sosial Mekah-Medinah dirintis, pertahanan dan keamanan kota dibangun.
Bangunan masjid itu sederhana. Dindingnya tersusun dari batu bata dengan perekat lumpur tanah. Atapnya berupa pelepah kurma. Alasnya terdiri dari hamparan pasir dan kerikil yang dipadatkan. Namun, masjid sederhana ini mampu menopang beragam aktivitas warga kota saat itu; bahkan menjadi pusat kegiatan warga kota.
Masjid yang sangat dihormati oleh Umat Islam seluruh dunia itu bukan lagi sekadar tempat melaksanakan ibadah ritual (‘ibadah mahdlah) semata. Ia juga menjadi tempat belajar warga Medinah, tempat memusyawarahkan berbagai persoalan, tempat semua kabilah/suku bisa saling menahan diri untuk bertukar pandangan dan perspektif serta menyelesaikan perselisihan di antara mereka.
Tidak hanya itu, masjid ini juga menjadi tempat tinggal orang-orang miskin dan tempat singgah para pedagang dan musafir. Dalam status dan peran seperti itu, maka Masjid Nabawy merupakan ruang publik warga Medinah. Melalui ruang publik inilah sang arsitek peradaban – Rasul Muhammad SAW -- membangun kota yang kini menjadi tujuan penting bagi umat beliau.
Juergen Habermas, ahli filsafat sosial asal Jerman yang mempopulerkan rintisan Nabi Muhammad SAW dengan istilah ruang publik. Ia mengartikannya sebagai tempat yang perbedaan keyakinan dan pendapat dapat ditampung dan dibicarakan secara bebas. Ruang publik menjadi penopang budaya egaliter dan partisipasi setiap orang. Dalam pengertian itu ruang publik tidak terbatas pada tempat fisik, melainkan sebuah ruang hidup.
Ekspresi perbedaan, spontanitas, dan kreativitas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dalam ruang publik. Ruang publik membebaskan penghuninya dari perasan takut. Ia terbuka bagi berbagai kalangan termasuk orang miskin, dan juga bebas dari hambatan fisik bagi mereka para penyadang cacat (diffable persons). Di ruang itulah warga tidak hanya menjadi bagian dari massa, melainkan menjadi warga yang merdeka, bertanggung jawab, dan bebas berekspresi dan berkarya.
Ruang publik menjadi kebutuhan manusia untuk mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya. Dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan manusia, maka ruang publik bersifat tanggap, demokratik, serta bermakna (Carr, Public Space, 1992).
Ruang yang tanggap mewadahi kebutuhan manusia dalam hal kenyamanan, keleluasaan, hubungan aktif dan pasif dengan lingkungan serta pengembangan dan penemuan. Ruang itu mampu memberikan rangsangan kepada setiap penghuninya untuk berbuat yang terbaik. Setiap orang merasa kebutuhannya terpenuhi ketika berada di dalamnya; sebuah ruang yang tanggap atas pergumulan setiap hari para penghuninya.
Hak masyarakat diwadahi oleh fungsi ruang publik sebagai ruang demokratik yang memenuhi akses secara fisik, visual dan simbolik, juga kebebasan beraktivitas. Sang seniman bisa menyalurkan bakat seninya; para politisi bisa berdiskusi bersama tanpa khawatir mengenai netralitas tempat; para pedagang bisa mencari rejeki darinya; dan anak-anak bisa belajar di dalamnya. Setiap orang merasa nyaman karena haknya diakui dan dihormati.
Ruang-ruang publik juga merupakan ruang yang bermakna bagi sekelompok masyarakat dan individu baik secara pribadi maupun sosial. Berada di dalamnya memampukan untuk optimis dalam menghadapi masa depan. Berada jauh darinya menghadirkan kerinduan untuk berjumpa.
Di Solo kita telah mempunyai banyak ruang publik; taman budaya, pasar, taman rekreasi, jalan raya dan trotoar. Akan tetapi, dalam Roundtable Group Discussion, 3 Juli 2004, terungkap mulai hilangnya ruang publik untuk politik. Ruang publik untuk politik ini adalah tempat bagi masyarakat untuk merembug bersama tentang masalah kebijakan-kebijakan kota. Menyempitnya ruang publik untuk politik ini menjadi bagian penyebab putusnya komunikasi para politisi dengan masyarakat pemilih dan antarpemilih dengan sesamanya.
Masjid Nabawy adalah satu contoh ruang publik yang multifungsi. Ia menampung semua pergumulan zamannya. Dalam bahasa sekarang kita menyebutnya ruang publik yang kosmopolit. Namun, di zaman kosmopolitan seperti sekarang, mengharapkan satu ruang publik yang menampung semua kepentingan penghuninya justru semakin sulit. Sekarang setiap tempat dituntut untuk jelas dan pilah fungsinya; pasar untuk transaksi ekonomi; taman rekreasi untuk berhibur; trotoar untuk pejalan kaki dan sebagainya.
Sekarang kita berpandangan bahwa mencampurbaurkan fungsi satu ruang publik dengan fungsi lainnya hanya mengundang kekacauan yang dapat menghilangkan tiga sifat ruang publik di atas. Ini merupakan perkembangan sosial dan budaya yang patut direnungkan.
Selain penegasan fungsi, masih banyak masalah lain di sekitar ruang publik; seperti pengelolaan dan penataannya. Langkah Nabi Muhammad SAW menerangkan kepada kita betapa pentingnya kehadiran ruang publik dalam hidup, termasuk ruang publik untuk politik. Kini kita dituntut untuk mengambil semangat dari rintisan Nabi itu dengan inovasi yang sesuai zaman.
Mengakhiri edisi ini, kita akan menyimak pusisi dari JC Bloem.
Betapa dia mencintai, jalan-jalan kelabu,
Suasana kabut dan nyaman itu,
Saat senja tiba dan pelapisan jalan
Yang ditinggalkan lembab, beda dan lapang.
Sesekali, mari kita nikmati senja sambil berjalan-jalan di sekitar Tugu 45; taman kota yang seharusnya menjadi arena rekreasi keluarga itu tampak carut marut. Banyak sampah berserakan, debu-debu beterbangan, ruwetnya lalu lintas sekitar tugu juga rumah-rumah kecil yang saling berdempetan; sangat kontras dengan rumah-rumah gedong di belakangnya. Trotoar yang seharusnya menjadi ruang bagi pejalan kaki, telah dipenuhi para pedagang kaki lima hingga kita sering harus turun naik menghindari kios-kios mereka; sungguh suasana yang melelahkan mata, pikiran, juga fisik.
Itulah sebagian kecil dari gambaran akan sulitnya mengelola ruang publik di kota yang arus manusia dan modal sudah sedemikian deras.

Tidak ada komentar: