Rabu, 18 Juli 2007

Buku Gender yang akan diterbitkan









MATERI 2

BAHAN PEMBELAJARAN
TEORI DAN KONSEP GENDER


DAFTAR ISI

Bab I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Pengertian-pengertian

Bab II URAIAN MATERI

A. BAGIAN SATU

1. Teori Nurture
2. Teori Nature
3. Aliran Equilibrium (Keseimbangan)

B. BAGIAN DUA

KONSEP GENDER
1. Ketidakadilan dan Diskriminasi Gender
a. Marjinalisasi (peminggiran) Perempuan
b. Sub Ordinasi
c. Pandangan Stereotype
d. Kekerasan
e. Beban Ganda
2. Kesetaraan dan Keadilan Gender
3. Penerapan Pengarusutamaan Gender di Indonesia
a. Pluralisme
b. Bukan Pendekatan konflik
c. Melalui proses sosialisasi dan advokasi
d. Menjunjung nilai hak asasi manusia dan demokrasi

Bab III KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konferensi Dunia tentang perempuan yang pertama diadakan di Mexico City oleh PBB tahun 1975, diperoleh gambaran bahwa di negara manapun status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki dan terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan baik sebaai pelaku meupun penikmat hasil pembangunan.

Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan telah dilakukan berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan, namun hasilnya masih belum memadai, Kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat dan pendidikan masih rendah.

Dari kegiatan tersebut lahir pemikiran bahwa hubungan/relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki di dalam dan di luar keluarga perlu diubah, artinya diperlukan suatu perubahan struktural yaitu perubahan relasi sosial dari yang timpang ke relasi sosial yang setara dimana keduanya merupakan factor penting dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan keluarga.

Pada tahun 1980 diselenggarakan Konferensi Dunia tentang perempuan yang kedua di Kopenhagen untuk melihat kemajuan dan evaluasi tentang upaya berbagai negara peserta, tentang keikutsertaan perempuan dalam pembangunan.
Pada tahun 1985 diadakan Konferensi Perempuan ketiga di Nairobi, yang salah satu kesepakatannya adalah bahwa gender digunakan sebagai alat analisis mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara perempuan dan laki-laki diberbagai bidang kehidupan.

Selanjutnya pada tahun 1995, konferensi dunia tentang perempuan yang keempat di Beijing telah menyepakati 12 isu kritis yang perlu mendapat perhatian dan segera ditangani, 12 isu kritis tersebut adalah :
1. Perempuan dan Kemiskinan, utamanya kemiskinan struktural akibat kebijakan pembangunan dan sosial budaya yang berlaku;
2. Keterbatasan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi perempuan untuk meningkatkan posisi tawar menawar menuju kesetaraan gender;
3. Masalah Kesehatan dan Hak Reproduksi perempuan yang kurang mendapat perlindungan dan pelayanan yang memadai ;
4. Tidak kekerasan (Fisik dan non Fisik) terhadap perempuan baik dirumah tangga maupun di tempat kerja tanpa mendapatkan perlindungan secara hukum;
5. Perempuan dan konflik bersenjata/Militer, perempuan banyak menjadi korban kekejaman dan kekerasan pihak yang bertikai, walaupun sudah di jamin oleh Konvensi Genewa 1949;
6. Terbatasnya akses kaum perempuan untuk berusaha di bidang ekonomi Produktif, termasuk mendapatkan modal dan pelatihan usaha;
7. Keikutsertaan perempuan dalam merumuskan dan pengambilan keputusan di keluarga, masyarakat, dan negara masih sangat kurang;
8. Keterbatasan kelembagaan dan mekanisme yang dapat memperjuangkan kaum perempuan dalam sector pemerintahan dan non pemerintahan/swasta;
9. Perlindungan dan pengayoman terhadap hak-hak azasi perempuan secara social maupun hukum masih lemah;
10. Keterbatasan kaum perempuan terhadap media masa sehingga ada kecenderungan media informasi menggunakan tubuh wanita sebagai media promosi dan eskploitasi murahan;
11. Kaum perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air bersih, sampah industri dan lingkungan lainnya;
12. Terbatasnya kesempatan dalam mengembangkan potensi dirinya dan tindak kekerasan terhadap anak perempuan.

Dari berbagai kesepakatan tersebut ternyata teori dan konsep gender perlu dipelajari dan disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat agar kesetaraan dan keadilan perempuan dan laki-laki terwujud.

B. Pengertian-pengertian

1. Emansipasi adalah suatu pandangan yang menciptakan adanya kesamaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki dalam segala aspek kehidupan baik biologis maupun non biologis.
2. Feminisme adalah paham, aliran, gerakan yang memperjuangkan kesamaan dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki dalam segala aspek hidup dan kehidupan manusia.

3. Feminin adalah ciri, karakteristik, sikap dan perilaku dominan yang dimiliki kaum perempuan.

4. Maskulin adalah ciri, karakteristik, sikap dan perilaku dominan yang dimiliki kaum laki-laki.

5. Nature adalah paham yang berpendapat bahwa perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki karena ada perbedaan secara biologis.

6. Nurture adalah paham yang berpendapat bahwa perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki merupakan hasil kontruksi social budaya.

7. Affirmative Action adalah pengembangan program khusus (pemberdayaan perempuan) dalam rangka meningkatkan kesetaraan gender dalam bidang pekerjaan dan pembangunan.

8. Paham Keseimbangan (equilibrium) adalah pandangan yang berlandaskan membina kerjasama dengan prinsip kemitraan dan keharminisan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.

9. Sex (jenis kelamin) adalah perbedaan organ biologis antara perempuan dan laki-laki terutama pada bagian-bagian reproduksi.

10. Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil kontruksi social budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.

11. Bias gender adalah suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan pembangunan.

12. Relasi gender adalah menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan dalam kerjasama saling mendukung atau bersaing satu sama lain.

13. Analisis gender adalah proses menganalisis data dan informasi secara sistematis tentang laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasi dan pengungkapkan kedudukan, fungsi, perna dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, serta factor-faktor yang mempengaruhi.
· Patriarki adalah system yang menganut garis laki-laki (ayah) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
· Matriarki adalah system yang menganut garis perempuan (ibu) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
· Stereotype adalah citra baku yang melekat pada peran, fungsi dan tanggung jawab yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat.


BAB II
URAIAN MATERI

A. BAGIAN SATU

TEORI GENDER
Dalam pembahasan mengenai gender, termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya dua aliran atau teori, yaitu : teori nurture dan teori nature.

Namun demikian dapat pula dikembangkan satu konsep teori yang diilhami dari dua teori tersebut yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yang disebut dengan teori equilibrium, secara rinci teori-teori tersebut diuraikan sebagai berikut:

a. Teori Nurture
Menurut teori nurture perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya adalah hasil konstruksi social budaya, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dab bernegara. Kontruksi social menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikan dengan kelas borjuis dan perempuan sebagai proletar.

Perjuangan untuk persamaan dipeloporai oleh kaum feminis internasional yang cenderung mengejar persamaan (sameness) dengan konsep 50 : 50 (Fifty-fifty), konsep yang kemudian dikenal dengan istilah perfect equality (kesamaan kuantitas). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan baik dari nilai agama maupun budaya. Berangkat dari kenyataan tersebut, para feminis berjuang dengan menggunakan pendekatan social konflik, yaitu konsep yang diilhami oleh ajaran Karl Marx (1818-1883) dan Machiawelle (1469-1527) dilanjutkan oleh David Lockwood (1957) dengan tetap menerapkan konsep dialektika.

Randall Collin (1987) beranggapan keluarga adalah wadah tempat pemaksaan, suami sebagai pemilik dan wanita sebagai abdi. Margrit Eichlen beranggapan keluarga dan agama adalah sumber terbentuknya budaya dan perilaku diskriminasi gender.

Konsep social konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). Bagi kaum proletar tidak ada pilihan kecuali dengan perjuangan menyingkirkan penindas demi untuk mencapai kebebasan dan persamaan. Karena itu aliran nurture melahirkan paham social konflik yang banyak dianut masyarakat sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham social konflik memperjuangkan kesamaan proporsional (perfect equality) dalam segala aktivitas masyarakat seperti di DPR, Militer, menejer, Meneri, Gubernur, pilot dan pimpinan partai politik.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibuatlah program khusus (affirmative action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan agar bisa termotivasi untuk merebut posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki. Akibatnya sedah dapat diduga, yaitu tibulnya reaksi negatif dari laki-laki yang apriori terhadap perjuangan tersebut yang dikenal dengan prilaku “male backlash”.

b. Teori Nature

Menurut teori nature, perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya.

Dalam proses perkembangannya banyak kaum perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori nurture di atas, lau beralih ke teori nature. Pendekatan nurture dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat.

Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang bersifat naluri (instinct). Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara structural dan fungsional. Manusia baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan social pembagian tugas (division of labor) begitu pula dalam kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami isteri, siapa yang menjadi kepala keluarga dan siapa yang menjadi ibu rumah tangga. Dalam organisasi sosial juga dikenal ada pimpinan dan ada bawahan (anggota) yang masing-masing mempunyai tugas, fungsi dan kewajiban yang berbeda dalam mencapai tujuan. Tidak mungkin satu kapal dikomandani oleh dua nahkoda. Paham ini diajarkan oleh Socrates dan Palto, yang kemudian diperbaharui oleh August Comte (1798 –1857), Emile Durkheim (1858 – 1917) dan Herbert Spencer (1820 – 1930) yang mengatakan bahwa kehidupan kebersamaan didasari oleh pembagian kerja dan tanggung jawab.

Talcott Parson ( 1902 –1979) dan Parson & Bales berpendapat bahwa keluarga adalah sebagian unit sosial yang meberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling bantu membantu satu sama lain. Karena itu peranan keluarga semakin penting dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui “pola pendidikan” dan pengasuhan anak dalam keluarga.

Teori ini melahirkan paham structural fungsional yang menerima perbedaan peran, asal dilakukan secara demokrasi dan dilandasi oleh kesepakatan (komitmen) antara suami isteri dalam keluarga atau antara kaum perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat.

c. Aliran Equilibrium (Keseimbangan)

Disamping kedua Teori tersebut, terdapat kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat bangsa dan negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan dan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satau sama lain. R.H/ Tawney menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan atau budaya pada hakekatnya adalah realita kehidupan manusia.

Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan pula structural fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak punya kelebihan sekaligus kekurangan, kekuatan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerjasama yang setara.

B. BAGIAN DUA

KONSEP GENDER

Istilah gender berasal dari kata Gen yang artinya pembawa sifat embrio laki-laki maupun perempuan. Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentuk budaya yang dikontruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini kita sering sekali mencampur adukan cirri-ciri manusia yang bersifat kodrat dan tidak berubah dengan cirri-ciri manusia yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya, bisa berubah atau diubah.

Pembedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini telah melekat pada manusia perempuan dan laki-laki. Dengan mengenali pembagian gnder sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak permanen, memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi perempuan dan laki-laki yang dinamis yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.

Dengan kata lain mengapa kita perlu memisahkan perbedaan jenis kelamin biologis dan gender adalah karena konsep jenis kelamin biologis yang bersifat permanen dan statis itu tidak dapat digunakan sebagai alat analisis yang berguna untuk memahami realitas kehidupan dan dinamika perubahan relasi lelaki dan perempuan.

Dilain pihak analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas, analisis diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama ini digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat berpotensi menunbuhkan penindasan. Dengan begitu analisis gender sebenarnya menggenapi sekaligus mengoreksi anat analisis sosial yang ada yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi dan perempuan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.

Jadi jelaslah mengapa gender perlu dipersoalkan. Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat di mana manusia beraktifitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita,sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.

Secara sederhana perbedaan gender telah melahirkan perbedaan peran, sifat dan fungsi yang terpola sebagai berikut :

· Kontruksi biologis dari ciri primer, sekunder, maskulin, feminim
· Kontruksi social dari peran citra baku (Strereotype)
· Kontruksi agama dari keyakinan, kitab suci agama.

Anggapan bahwa sikap perempuan feminim atau laki-laki maskulin bukanlah sesuatu yang mutlak, semutlak kepemilikan manusia atas jenis kelamin biologisnya.

Dalam memahami konsep gender ada beberapa hal yang perlu dipahami yaitu :

Ketidak-adilan dan Diskriminasi Gender
Ketidak-adilan dan Diskriminasi Gender merupakan system dan struktur dimana perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung berupa dampak perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidak-adilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada dimasyarakat.

Ketidak-adilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja, tetapi juga dialami oleh laki-laki. Meskipun secara agregat ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan gender itu berdampak pula terhadap laki-laki.

Bentuk-bentuk ketidak-adilan akibat diskriminasi gender itu meliputi :

a. Marjinalisasi (peminggiran)perempuan

Proses marjinalisasi (peminggiran) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi di negara berkembang seperti penggusuran dari kampung halamannya, eksploitasi, dsb. Namun pemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang disebabkan karena jenis kelaminnya adalah merupakan salah satu bentuk ketidak-adilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak perempuan yang tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya menfokuskan pada petanni laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki oleh laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara menual oleh perempuan diambil aleh oleh laki-laki. Sebaliknya, banyak lapangan pekerjaan yang memerlukan kecermatan dan kesabaran diberikan kepada perempuan.

Contoh-contoh marjinalisasi :
· Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki.
· Pemotongan padi dengan peralatan mesin yang membutuhkan tenaga dan keterapilan lai-laki menggantikan tangan-tangan perempuan dengan ani-ani.
· Usaha Konveksi yang lebih suka menyerap tenaga perempuan
· Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak diberikan kepada perempuan.

Demikian pula banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru taman kanak-kanak”, sekretaris atau perawat dinilai lebih rendah disbanding pekerjaan laki-laki. Hal tersebut berpengaruh pada pembedaan gaji yang diterima oleh perempuan.

b. Sub Ordinasi ( Penomorduaan )

Sub Ordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama disbanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dulu ada pandangan yang menempakan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsir keagamaan maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum perempuan pada sub ordinat. Kenyataan memperhatikan pula bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan diberbagai kehidupan.

Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak bepergian ke luar negeri, ia harus mendapat izin dari suami. Tetapi apabila suami yang akan pergi ia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapatkan izin dari isteri. Kondisi semacam itu telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting, sehingga jika karena kemampuannya ia bisa menempati posisi penting sebagai pimpinan, bawahannya yang berjenis kelamin laki-laki sering kali merasa tertekan. Menjadi bawahan seorang perempuan yang pada pola pikirnya merupakan makluk lemah dan lebih rendah membuat laki-laki merasa “kurang laki-laki”. Inilah bentuk ketidak-adilan gender yang dialami oleh perempuan namun yang dampaknya mengenai laki-laki tidak merasa dirugikan.

c. Pandangan Stereotype ( Pelabelan Negatif )
Pelabelan atau penandaan (stereotype) yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotype yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan domestik dan sebagai akibatnya ketia ia berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah “perpanjangan” peran domestiknya. Misalnya, karena perempuan dianggap pandai merayu maka ia dianggap pas bekerja di bagian penjualan. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas tetapi apabila seorang perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar penilaian terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda namun standar nilai tersebut lebih banyak merugikan perempuan. Contoh :
¨ Label kaum perempuan sebagai “Ibu rumah tangga” sangat merugikan mereka, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi.
¨ Sementara label laki-laki sebagai “pencari nafkah” mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap “sambilan” sehingga kurang dihargai.
¨ Keramah-tamahan laki-laki dianggap merayu dan keramah-tamahan perempuan dianggap genit.



d. Kekerasan ( Violence )

Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata “kekerasan” yang merupakan terjemahan dari “violence” artinya suatu serangan terhadap fisik meupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya.

Pelaku kekerasan bersumber karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di dalam rumah tangga sendiri maupun ditempat umum dan juga dalam masyarakat, misalnya:

¨ Suami membatasi uang belanja dan memonitor pengeluarannya secara ketat.

¨ Isteri menghina/mencela kemampuan seksual atau kegagalan karir suami.

e. Beban Ganda ( Double Burden )

Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa yang lain dilakukan oleh perempuan.

Berbagai pengamatan menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja diwilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.
Contohnya, seorang ibu dan anak perempuannya mempunyai tugas untuk menyiapkan makanan dan menyediakannya di atas meja, kemudian merapikan kembali sampai mencuci piring-piring yang kotor. Seorang Bapak dan anak laki-laki setelah selesai makan yang sudah tersedia, mereka akan meninggalkan meja makan tanpa merasa berkewajiban untuk mengangkat piring kotor yang bekas mereka pakai. Apabila yang mencuci piring isteri, walaupun ia bekerja mencari nafkah keluarga ia tetap menjalankan tugas pelayanan yang dianggap sebagai kewajibannya. Beban kerja semacam itu juga menimpa laki-laki, misalnya saja sepulang dari kantor pada petang hari, pada malam harinya ia harus siskamling untuk memenuhi tugasnya sebagai warga masyarakat setempat.




Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kesetaraan dan Keadilan Gender suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah konstektual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (quota) dan tidak bersifat universal. Pandangan ini membedakan sekurang-kurangnya tiga konteks kehidupan seseorang dalam keluarga, masyarakat dan agama.
Contoh : konstektual dari segi agama mengenai hak waris

Karena pemahaman atau penafsiran terhadap kaidah agama berbeda secara individual sedangkan sifat kaidah (norma statis) tidak dapat berubah, maka seharusnya ada pemahaman yang benar, sehingga tidak berdampak negatif karena aplikasi sebagian dapat menyesuaikan dan sebagian lagi merupakan dogmatis sedang situasional menunjukkan penerapan gender tidak bisa dilakukan sama disemua strata masyarakat. Karena itu Vandana Shiva menyebutnya equality in diversity (persamaan dalam keragaman). Hidup akan memiliki makna bila dilakukan dalam hubungan yang komplementer yang bisa diwujudkan melalui strategi pengarusutamaan gender (gender mainstreaming).

Penerapan Penagarusutamaan Gender di Indonesia

Dari uraian tiga teori gender di atas, maka Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, dalam mensosialisasikan PUG dan penerapannya di Indonesia mengenal prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Pluralistis
Yaitu menerima keragaman budaya, agama dan adat istiadat (pluralistis), karena bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat tadi merupakan kekayaan dan keragaman yang perlu dipertahankan di dalam pengarusutamaan gender tanpa harus mempertentangkan keragaman tersebut.

b. Bukan pendekatan konflik
Yaitu pendekatan dalam rangka PUG tidak melalui pendekatan dikotomis yang selalu mempertimbangkan antara kepentingan laki-laki dan perempuan.

c. Melalui proses sosialisasi dan Advokasi
Prinsip yang penting dalam PUG di Indonesia adalah melalui perjuangan dan penerapan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi. Dalam PUG tidak semudah membalikan telapak tangan atau ibarat memakan “cabe begitu digigit terasa pedas”. Tetapi pelaksanaannya harus dengan penuh pertimbangan melalui proses sosialisasi dan advokasi yang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.

d. Menjunjung nilai hak asasi manusia dan demokrasi
Yaitu pendekatan PUG di Indonesia tidak melalui pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan, sehingga ada kelompok yang merasa dirugikan. PUG di Indonesia penerapannya akan selalu menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi, sehingga akan diterima oleh lapisan masyarakat tanpa ada penekanan-penekanan.


BAB III
RANGKUMAN


Pembahasan mengenai gender tidak dapat dilepaskan dari pandangan/teori yang mendasari pembahasan gender. Secara umum dikenal dua teori mengenai gender, yaitu :

¨ Teori Nurture, menyebutkan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga meningkatkan peran dan tugas yang berbeda.
¨ Teori Nature, menyebutkan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, yang memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda.
¨ Kedua teori tersebut mungkin dapat dikembangkan aliran ketiga yang bisa disebut equibrium (keseimbangan). Aliran ini menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki.

Para ilmuwan sosial menyatakan bahwa gender adalah perbedaan perempuan dan laki-laki merupakan bentuk budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Perbedaan itu sangat penting karena selama ini sering dicampur adukkan antara ciri-ciri manusia yang kodrati dan non kodrati.

Dengan adanya pembagian tugas yang baik dan seimbang, gender tidak menjadi suatu masaslah, sebab peran perempuan dan laki-laki akan menguntungkan kedua belah pihak. Namun kondisi tersebut di atas masih belum seperti yang diharapkan, bahkan masih terjadi pembakuan peran gender di dalam masyarakat.
Oleh karena itu agama merupakan harapan manusia untuk menjadi pelindung, pembela, pejuang harkat dan martabat manusia yang bernuansa pada hak asasi manusia dan dalam keterkaitannya dengan kesetaraan dan keadilan gender adalah hak asasi manusia perempuan. Ketidak-adilan gender dan diskriminasi merupakan system dan struktur di mana baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban darinsistem ini.

Bentuk ketidak-adilan dan diskriminasi itu meliputi :
1. Marjinalisasi (peminggiran) perempuan.
2. Sub Ordinasi (penomorduaan)
3. Pandangan Stereotype (pelabelan)
4. Violence (Kekerasan)
5. Double Borden (beban ganda)

Tidak ada komentar: