Jumat, 20 Juli 2007

Anak Itu

Jangan! Jangan ambil uangku, aku sudah lama mengumpulkan uang ini, ini buat berobat ibuku, ibuku sakit keras, ibuku sangat memerlukan uang ini. Jangan ambil uangku,” suara itu masih terngiang di telinga Parto.
Sudah empat tahun berlalu tapi dia tak bisa menghilangkan bayangan suara anak itu, seolah-olah anak itu selalu mengikutinya. entah rasa bersalah atau apa yang pasti sejak kejadian itu hidupnya tidak tenang. Dan ia akan tertawa terbahak bahak, anak itu menangis tersedu, dan ia akan terus menunggu anak itu.
***
“Abang ini bagaimana, becus nggak sih cari uang. Anakmu sudah dua hari hanya makan nasi sama garam, belum lagi biaya sekolah nunggak tiga bulan. Bukankah kamu tak ingin anak-anak kita bernasib sama dengan kita,” seperti pagi-pagi sebelumnya istri Parto mulai uring-uringan, hari masih pagi, Parto baru saja terjaga dari tidurnya, sudah disapa oleh uringan istrinya.
“Diam!” bentaknya. “Aku juga sudah tahu, bukannya aku tak peduli, tapi bagai mana lagi, kamu juga tahu aku baru saja di PHK, bukankah uang pesangon masih ada, beri aku waktu untuk cari kerjaan baru,” Parto sudah tidak bisa menahan emosinya, ia sudah bosan dengan omongan istrinya.
“Hah uang pesangon katamu? Uangmu sudah habis sebulan lalu. dan kamu, apa usahamu semenjak di PHK kau hanya tidur, minum, berjudi. Suami macam apa kamu ini. Kalau saja aku tak kerja keras cari kerjaan serabutan kesana-kemari, mungkin kamu sudah jadi bangkai sejak kemarin dulu. Apakah kamu tidak tahu kalau selama ini kamu makan dari hasil cucuran keringatku?” istrinya tak mau kalah.
Sebenarnya kala itu Parto sangat merasa bersalah, namun bagai manapun juga sebagai seorang lelaki ia tak mau harga dirinya direndahkan seperti itu. “Hah, baru segitu saja kau sudah bangga, sudah berani merendahkan aku, sudah mersa berjasa ya? Apakah kau tidak tahu, aku bekerja untuk makan kau dan anakmu sudah hampir sepuluh tahun, aku tak pernah membanggakan diri,” Parto mulai naik pitam.
“Tapi, Bang, bukan itu maksudku, aku hanya…”
“Diam kau, aku muak mendengar ocehanmu,” ia meraih kendi air di sebelah tempat tidurnya, dengan emosi ia lemparkan ke arah istrinya.
Brakk! Pecahan kendi berserakan kemana-mana. Untung saja istri Parto masih sempat mengelak. Ia berlari ke kamar dan menguncinya dari dalam.
“Hai keluar kau! Dasar istri kurang ajar, beraninya kau menghinaku,” Parto mulaikehilangan kendali.
*** Dua hari ini Parto malas balik ke rumahnya. Ia sudah bosan dengan ocehan istrinya, ia sudah muak direndahkan. Ia menghabiskan waktunya dengan berjudi dan minum-minum. Tapi ia perlu uang juga, lama-lama uangnya menipis, sedangkan ia terlalu gengsi untuk minta ke istrinya. Akhirnya Parto pulang juga walau bagaimana pun istrinya pasti akan memberinya uang, begitu pikirnya, bukankah ia bisa mengancamnya. Dengan sempoyongan ia balik ke rumahnya, ia mabuk berat, rumahnya yang hanya beberapa ratus meter dari warung darjo tempat ia mabuk-mabuk dan main judi terasa jauh sekali.
*** Malam itu sangat sepi, tampak seorang bocah penyemir sepatu menghitung uangnya hasil upah kerjanya seharian, rupanya penghasilannya saat ini cukup besar. Dengan hati riang dia timang timang uang itu, dia tak mengira kalau dia terancam bahaya, dan mungkin uangnya akan segera berpindah tangan.
Parto memperhatikan dengan jelas apa yang dilakukan anak itu. Terbersit dipikirannya untuk memiliki uang itu. Tentu saja di saat ini ia sangat membutuhkan uang. Mungkin istrinya tak akan ngomel terus bila ia memberi uang, dan ia akan menikmati kembali tubuh istrinya yang sudah dua bulan ia tak menikmatinya.
***
“Rokayah, buka pintu! Aku bawa uang sekarang, kau tak perlu mengomeliku hari ini, dan tentu saja kau mau melayaniku malam ini, bukan?” Parto memanggil istrinya.
“Sebentar, Bang!” jawab istrinya.
Pintu pun terbuka, Parto masuk dan langsung merebahkan diri di sofa yang bolong-bolong di sana-sini.
“Hai, Bang, dapat uang dari mana kamu?” tanya istrinya.
“Aah, kau tak perlu tahu dari mana uang ini. Yang penting uang ini cukup untuk kau dan anakmu makan seminggu, setelah itu aku akan cari lagi,” sergah Parto mulai naik pitam.
“Bukan begitu, Bang, aku takut kamu berbuat yang tidak-tidak,” jawab istrinya.
“Rupanya kau tidak percaya kepadaku?” tanya Parto.
“Tidak, Bang, aku percaya sama kamu,” istrinya tak mau terus berdebat. “O, aku lupa ada berita baik untukmu, perusahaan tempat kerjamu dulu memangilmu untuk bekerja kembali, ini surat pemanggilannya,” kata istri Parto sambil menyerahkan surat itu.
Parto tercengang, rupanya ia sedikit menyesal, kalau tahu begini ia mungkin tak perlu merampok anak itu.
***
Satu tahun berlalu, kini Parto dan keluargan sudah hidup mapan, tapi ada satu yang masih menjadi beban pikirannya, ia ingin mengembalikan uang yng dulu ia rampok, setiap malam setelah dia pulang kerja ia akan menunggu anak itu ijmbatan tempat dulu ia merampok anak itu. Namun anak itu bagai menghilang ditelan bumi. Ia tak pernah muncul lagi.
“Bagaimana nasib anak itu, apakah ibunya sembuh atau mati, ataukah anak itu mati kelaparan setelah ditinggal ibunya,” mungkin itu yang dipikirkan Parto selama ini.
***
Seperti biasa malam itu Parto masih menunggu kedatangan anak itu, ia berharap suatu saat rasa berdosanya akan dapat hilang, dua jam ia menunggu, anak itu tak muncul juga, uang itu masih digenggamnya. Sekonyong-konyong seseorang merebut uang itu dan berlari, Parto kaget.
“Jambret, maliing,” teriaknya. Tapi kala itu jalan sangat sep, tak ada yang mendengar teriakannya. Bergegas ia mengejar anak itu. Ia raih batu besar di pinggir jalan, ia lemparkan ke arah anak itu, dan bruk! anak itu tersungkur ke jalan aspal. Lemparan Parto tepat mengenai kepala anak itu.
Malang nasib anak itu. Sebelum Parto menghampirinya, sebuah sedan melaju dengan kencang. Dan brak! Anak itu tergilas.
Tiba-tiba semua hening. Parto menghampiri anak itu, dan menatap wajahnya, Parto tercengang, rupanya anak itu, ya, itu adalah anak yang dia rampok dulu.
“Tidak, jangan, jangan mati, aku belum mengembalikan uangmu, tidaaak!” teriaknya. “Aku membunuhnya… Aku membunuhnya, tidaaak!!!”

Ruang Publik: Kebutuhan Demokrasi

Ruang Publik: Kebutuhan Demokrasi

Sesampai di Medinah pada tanggal 27 September 622 M, langkah awal yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah membangun masjid. Masjid ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawy. Baru setelah masjid terbangun, dakwah yang lebih luas dilakukan, ekonomi digalakkan, relasi sosial Mekah-Medinah dirintis, pertahanan dan keamanan kota dibangun.
Bangunan masjid itu sederhana. Dindingnya tersusun dari batu bata dengan perekat lumpur tanah. Atapnya berupa pelepah kurma. Alasnya terdiri dari hamparan pasir dan kerikil yang dipadatkan. Namun, masjid sederhana ini mampu menopang beragam aktivitas warga kota saat itu; bahkan menjadi pusat kegiatan warga kota.
Masjid yang sangat dihormati oleh Umat Islam seluruh dunia itu bukan lagi sekadar tempat melaksanakan ibadah ritual (‘ibadah mahdlah) semata. Ia juga menjadi tempat belajar warga Medinah, tempat memusyawarahkan berbagai persoalan, tempat semua kabilah/suku bisa saling menahan diri untuk bertukar pandangan dan perspektif serta menyelesaikan perselisihan di antara mereka.
Tidak hanya itu, masjid ini juga menjadi tempat tinggal orang-orang miskin dan tempat singgah para pedagang dan musafir. Dalam status dan peran seperti itu, maka Masjid Nabawy merupakan ruang publik warga Medinah. Melalui ruang publik inilah sang arsitek peradaban – Rasul Muhammad SAW -- membangun kota yang kini menjadi tujuan penting bagi umat beliau.
Juergen Habermas, ahli filsafat sosial asal Jerman yang mempopulerkan rintisan Nabi Muhammad SAW dengan istilah ruang publik. Ia mengartikannya sebagai tempat yang perbedaan keyakinan dan pendapat dapat ditampung dan dibicarakan secara bebas. Ruang publik menjadi penopang budaya egaliter dan partisipasi setiap orang. Dalam pengertian itu ruang publik tidak terbatas pada tempat fisik, melainkan sebuah ruang hidup.
Ekspresi perbedaan, spontanitas, dan kreativitas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dalam ruang publik. Ruang publik membebaskan penghuninya dari perasan takut. Ia terbuka bagi berbagai kalangan termasuk orang miskin, dan juga bebas dari hambatan fisik bagi mereka para penyadang cacat (diffable persons). Di ruang itulah warga tidak hanya menjadi bagian dari massa, melainkan menjadi warga yang merdeka, bertanggung jawab, dan bebas berekspresi dan berkarya.
Ruang publik menjadi kebutuhan manusia untuk mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya. Dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan manusia, maka ruang publik bersifat tanggap, demokratik, serta bermakna (Carr, Public Space, 1992).
Ruang yang tanggap mewadahi kebutuhan manusia dalam hal kenyamanan, keleluasaan, hubungan aktif dan pasif dengan lingkungan serta pengembangan dan penemuan. Ruang itu mampu memberikan rangsangan kepada setiap penghuninya untuk berbuat yang terbaik. Setiap orang merasa kebutuhannya terpenuhi ketika berada di dalamnya; sebuah ruang yang tanggap atas pergumulan setiap hari para penghuninya.
Hak masyarakat diwadahi oleh fungsi ruang publik sebagai ruang demokratik yang memenuhi akses secara fisik, visual dan simbolik, juga kebebasan beraktivitas. Sang seniman bisa menyalurkan bakat seninya; para politisi bisa berdiskusi bersama tanpa khawatir mengenai netralitas tempat; para pedagang bisa mencari rejeki darinya; dan anak-anak bisa belajar di dalamnya. Setiap orang merasa nyaman karena haknya diakui dan dihormati.
Ruang-ruang publik juga merupakan ruang yang bermakna bagi sekelompok masyarakat dan individu baik secara pribadi maupun sosial. Berada di dalamnya memampukan untuk optimis dalam menghadapi masa depan. Berada jauh darinya menghadirkan kerinduan untuk berjumpa.
Di Solo kita telah mempunyai banyak ruang publik; taman budaya, pasar, taman rekreasi, jalan raya dan trotoar. Akan tetapi, dalam Roundtable Group Discussion, 3 Juli 2004, terungkap mulai hilangnya ruang publik untuk politik. Ruang publik untuk politik ini adalah tempat bagi masyarakat untuk merembug bersama tentang masalah kebijakan-kebijakan kota. Menyempitnya ruang publik untuk politik ini menjadi bagian penyebab putusnya komunikasi para politisi dengan masyarakat pemilih dan antarpemilih dengan sesamanya.
Masjid Nabawy adalah satu contoh ruang publik yang multifungsi. Ia menampung semua pergumulan zamannya. Dalam bahasa sekarang kita menyebutnya ruang publik yang kosmopolit. Namun, di zaman kosmopolitan seperti sekarang, mengharapkan satu ruang publik yang menampung semua kepentingan penghuninya justru semakin sulit. Sekarang setiap tempat dituntut untuk jelas dan pilah fungsinya; pasar untuk transaksi ekonomi; taman rekreasi untuk berhibur; trotoar untuk pejalan kaki dan sebagainya.
Sekarang kita berpandangan bahwa mencampurbaurkan fungsi satu ruang publik dengan fungsi lainnya hanya mengundang kekacauan yang dapat menghilangkan tiga sifat ruang publik di atas. Ini merupakan perkembangan sosial dan budaya yang patut direnungkan.
Selain penegasan fungsi, masih banyak masalah lain di sekitar ruang publik; seperti pengelolaan dan penataannya. Langkah Nabi Muhammad SAW menerangkan kepada kita betapa pentingnya kehadiran ruang publik dalam hidup, termasuk ruang publik untuk politik. Kini kita dituntut untuk mengambil semangat dari rintisan Nabi itu dengan inovasi yang sesuai zaman.
Mengakhiri edisi ini, kita akan menyimak pusisi dari JC Bloem.
Betapa dia mencintai, jalan-jalan kelabu,
Suasana kabut dan nyaman itu,
Saat senja tiba dan pelapisan jalan
Yang ditinggalkan lembab, beda dan lapang.
Sesekali, mari kita nikmati senja sambil berjalan-jalan di sekitar Tugu 45; taman kota yang seharusnya menjadi arena rekreasi keluarga itu tampak carut marut. Banyak sampah berserakan, debu-debu beterbangan, ruwetnya lalu lintas sekitar tugu juga rumah-rumah kecil yang saling berdempetan; sangat kontras dengan rumah-rumah gedong di belakangnya. Trotoar yang seharusnya menjadi ruang bagi pejalan kaki, telah dipenuhi para pedagang kaki lima hingga kita sering harus turun naik menghindari kios-kios mereka; sungguh suasana yang melelahkan mata, pikiran, juga fisik.
Itulah sebagian kecil dari gambaran akan sulitnya mengelola ruang publik di kota yang arus manusia dan modal sudah sedemikian deras.

(Mengapa) Agama ditinggalkan Umat?

Ramadlan tahun ini seperti “mendekatkan” agama kepada konstituennya. Mengapa demikian, barangkali ini hanya rekaan industri media massa untuk kepentingan bisnisnya. Karena dalam realitasnya lembaga pendidikan yang dilabeli dengan kata “islam” atau menggunakan serapan bahasa arab seperti Madrsah Aliyah (MA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Pesantren, Ma’had cenderung tidak diminati oleh kebanyakan siswa dan orang tua siswa. Bahkan cenderung ditempatkan sebagai sekolah kelas dua, setelah lembaga pendidikan umum seperti SMP, SMA dan SMK. Betulkah ini pertanda bahwa agama sudah tidak menarik lagi?
Banyak Madrasah Aliyah (MA), lebih-lebih yang swasta kian tidak mendapat murid. Sebuah pertanda bahwa dukungan publik terhadap Madrasah Aliyah kian mengecil. Akibatnya lembaga pendidikan islam kian tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dalam pasar global. Sederet alasan dapat disusun sebagai jawaban atas fenomena ini. Penelitian UNU selama ini menunjukkan bahwa tidak banyak siswa yang bangga sebagai siswa Madrasah Aliyah dan tidak yakin dapat bersaing dengan lulusan lembaga pendidikan umum dalam persaingan untuk mendapatkan kerja atupun perguruan tinggi yang bermutu. Sementara lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang akan melanjutkan ke jenjang SLTA tidak berminat ke MA karena “takut” menemukan kesulitan dalam pembelajaran seperti bahasa arab dan mata pelajaran lain yang cenderung bernuansa kearab-aban, tanpa disadarkan tentang kegunaan dan manfaatnya.
Khalayak sendiri kadang ada yang tidak kenal dengan istilah Madrasah itu sendiri. Timbul pertanyaan mengapa harus dengan bahasa Arab kalau maksudnya untuk menyebut lembaga pendidikan islam sekelas SLTA. Ini memang pilihan ideologis, mengapa memilih MA yang nota bene adalah lembaga pendidikan untuk mengembangkan corak pendidikan islam. Hal yang naif adalah manakala masyarakat membandingkan antara Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Atas.

Kamis, 19 Juli 2007

Seorang Bani Israil dan Seekor Anjing

Seorang Bani Israil dan Seekor Anjing


Dikisahkan, ada seorang dari Bani Israil yang selalu menumpuk-numpuk dosa. Ketika ia berjalan dan sampai di sebuah sumur tiba-tiba datanglah seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya karena kehausan. Ia pun merasa kasihan. Lalu ia turun ke dalam sumur. Di dalam sumur ia melepas sepatunya kemudian mengisinya dengan air. Lalu ia minumkan air itu pada si anjing.
Maka Allah berterima kasih atas perbuatannya dan mengampuninya. Allah berfirman kepada nabi yang ada pada masa itu, “Katakanlah kepadanya, bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosanya karena kasih sayangnya pada makhluk-Ku.”

Abu Sulaiman dan Seekor Keledai

Abu Sulaiman dan Seekor Keledai


Abu Sulaiman Ad-Darani berkisah:
Suatu ketika aku berkeliling kota Bagdad dengan mengendarai seekor keledai. Karena jalannya yang terlalu lambat maka aku pukul keledaiku dengan dua atau tiga kali pukulan, agar ia lebih cepat jalannya. Selesai aku memukulnya keledai itu mengangkat kepalanya dan memalingkannya ke arahku seraya berkata, “Hai Abu Sulaiman, sesungguhnya pembalasan akan terjadi di hari kiamat. Maka, bila engkau ingin dibalas sedikit, sedikitkanlah pukulanmu. Dan bila engkau ingin dibalas lebih banyak, maka perbanyaklah pukulanmu kepadaku.”

As-Syibli dan Seekor Anak Kucing

As-Syibli dan Seekor Anak Kucing


Setelah sekian waktu lamanya Imam As-Syibli wafat, seorang sahabatnya memimpikannya. Dalam mimpinya ia berkata, “Apa yang diperbuat Allah kepadamu, Syibli?”
As-Syibli menjawab, “Allah telah menempatkanku di tempat yang mulia. Ia berkata kepadaku, “Wahai Syibli, tahukah engkau apa yang membuat-Ku berkenan mengampunimu?”
“Kebaikan amalku, ya Allah,” jawabku.
“Bukan,” kata Allah.
“Karena keikhlasanku dalam beribadah.”
“Tidak.”
“Karena ibadah haji, puasa, dan shalatku.”
“Tidak.”
“Karena kelanggenganku dalam mencari ilmu.”
“Bukan.”
Lalu aku berkata, “Ya Rabbi, semua itu adalah amalanku yang karenanya aku harap Engkau mau memaafkanku.”
Allah berfirman, “Semua itu tidaklah membuat-Ku mau mengampunimu.”
“Lalu karena apa Engkau berkenan mengampuniku?” tanyaku kemudian.
Allah berfirman, “Ingatkah engkau ketika engkau berjalan di pinggiran kota Bagdad, engkau menemukan seekor anak kucing yang kedinginan dan merapatkan tubuhnya ke sebuah tembok. Kemudian, karena merasa kasihan engkau mengambil anak kucing itu dan memasukannya ke dalam saku jubahmu agar ia terjaga dari kedinginan?”
“Ya,” jawabku.
Allah berfirman, “Karena rasa kasihmu pada anak kucing itulah Aku berkenan mengampunimu.”

Umar bin Khathab dan Seekor Burung Pipit

Umar bin Khathab dan Seekor Burung Pipit


Suatu ketika Umar bin Khtahab mengelilingi kota Madinah. Di tengah perjalanan ia mendapati seorang anak kecil yang sedang mempermainkan seekor burung pipit. Merasa iba dan kasihan terhadap burung itu beliau membelinya dan melepaskannya ke alam bebas.
Setelah beliau meninggal dunia, ada seseorang yang bermimpi bertemu dengannya. Orang itu berkata, “Apa yang diperbuat Tuhanmu kepadamu, Umar?”
“Tuhanku telah mengampuni dosa-dosaku.” jawab Umar.
“Mengapa Tuhanmu berbuat begitu? Apakah karena sifat adilmu, zuhudmu, ataukah karena ibadahmu?” tanya orang itu lagi.
Umar menjawab, “Sungguh, ketika kalian memasukkanku ke dalam liang kubur dan meninggalkanku sendirian, datanglah dua orang malaikat yang sangat menakutkan sehingga tergetarlah semua anggota badanku. Kedua malaikat itu memegangiku kemudian mendudukkanku. Tiba-tiba kudengar sebuah suara yang mengatakan, “Tinggalkanlah hamba-Ku itu dan janganlah kalian menakutinya. Sesungguhnya ia telah mengasihi salah satu makhluk-Ku, yakni burung pipit. Maka kini Aku pun akan mengasihinya dan mengampuni dosa-dosanya.”

Kurma Dari Rasul

Kurma Dari Rasul


Diriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib, beliau berkata:
Ketika kami hidup pada masa kekhalifahan Umar bin Khathab aku bermimpi bahwa aku shalat jamaah shubuh di belakang Baginda Rasulullah saw. Ketika aku telah selesai melakukan shalat aku segera pergi ke pintu masjid. Tiba-tiba ada seorang perempuan yang berdiri di pintu itu. Ia membawa sebuah baki yang pebuh dengan buah kurma.
Ia berkata kepadaku, “Wahai Ali, ambillah baki ini dan berikan kepada Rasulullah agar beliau membagi-bagikan kurma ini kepada para sahabatnya.”
Maka aku pun mengambil baki itu darinya dan meletakkannya di depan Rasulullah saw. Kemudian beliau menjulurkan tangannya dan mengambil sebuah kurma lalu memasukkannya ke dalam mulutku. Aku berkata, “Ya Rasulullah, alangkah manisnya kurma ini. Berilah aku tambahan satu kurma lagi.”
Namun sebelum beliau memberiku tambahan kurma lagi aku terjaga karena kumandang azan shubuh. Biasanya, sebuah mimpi yang terjadi ketika menjelang shubuh maka mimpi itu adalah mimpi yang benar yang datang dari Allah swt.
Kemudian aku pergi ke masjid Nabawi untuk melakukan shalat shubuh. Di sana aku melihat Amirul Mukminin Umar bin Khathab sedang mengimami shalat. Setelah aku selesai melakukan shalat shubuh aku segera pergi dan tiba-tiba di pintu masjid ada seprang perempuan yang sedang berdiri sambil membawa sebuah baki yang penuh dengan buah kurma. Ia berkata, “Wahai Ali, ambillah baki dan kurma ini dan berikan kepada Amirul Mukminin agar ia membagikannya kepada para sahabat Rasulullah.”
Maka aku pun mengambil baki itu dan meletakkannya di dpan Amirul Mukminin Umar bin Khathab. Lalu Umar menjulurkan tangannya dan memberi satu buah kurma ke dalam mulutku. Ketika aku merasakan betapa manisnya kurma itu aku berkata kepada Umar, “Beri aku satu kurma lagi, wahai Amirul Mukminin.”
Umar berkata, “Kalau saja Rasulullah memberimu tambahan, maka aku pun akan memberimu tambahan.”
Mendengar jawaban Umar, Imam Ali segera membalikkan tangannya dengan penuh keheranan. Sambil memandangi Umar ia mendekatinya seraya berkata, “Apa yang engkau katakan, wahai Amirul Mukminin?” tanya Ali penuh keheranan.
“Kalau saja Rasulullah memberimu tambahan kurma kemarin, maka aku pun akan membeerimu tambahan,” jawab Umar.
“Apa arti ini semua, wahai Amirul Mukminin?” Ali semakin heran. “Apakah ini satu kegaiban yang engkau ketahui, ataukah sebuah mimpi yang engkau lihat?”
“Demi Allah,” jawab Umar, “Ini bukanlah perkara gaib dan bukan pula sebuah mimpi. Tapi ini adalah masalah hati, wahai Ali. Seorang mukmin bila menjernihkan hatinya karena Allah semata, maka ia dapat melihat dengan cahaya Allah.”

Cinta Sebiji Atom

Cinta Sebiji Atom


Suatu ketika Nabi Isa berjalan melewati sebuah perkebunan di sebuah desa. Di perkebunan itu beliau bertemu dengan seorang pemuda yang sedang menyirami tanaman. Melihat orang yang datang adalah seorang nabi pemuda itu berkata, “Ya Nabi Allah, kumohon sudilaah kiranya engkau memohon kepada Allah agar Ia berkenan memberikan cinta-Nya kepadaku, meski hanya sebiji atom.”
Nabi Isa menjawab, “Wahai pemuda, engkau tak akan dapat memikul cinta Allah, meski hanya sebesar biji atom.”
Namun pemuda itu tetap berkeinginan untuk didoakan oleh Nabi Isa. Hingga akhirnya ia berkata, “Kalau memang aku tak akan kuat memikul cinta Allah sebiji atom, maka mohonkanlah agar Allah memberiku setengah biji atom saja dari cinta-Nya.” Demikian pemuda itu memohon.
Karena kuat keinginannya maka Nabi Isa mengabulkan dan mendoakannya. Seraya mengangkat kedua tangannya beliau berdoa, “Ya Allah berikanlah setengah biji atom dari cinta-Mu kepada hamba-Mu ini.” Kemudian beliau pergi meninggalkannya.
Setelah sekian lamanya Nabi Isa meninggalkan perkebunan tersebut, beliau datang lagi ke desa itu. Kepada masyarakat desa beliau menanyakan perihal pemuda yang dahulu pernah didoakannya.
“Di manakah pemuda yang bekerja menyirami kebun ini?”
Orang-orang desa menjawab, “Pemuda itu telah bertingkah layaknya orang gila, sehingga kami mengusirnya dari desa ini.”
“Di mana ia berada sekarang?”
“Ia berada di antara dua bukit itu,” kata mereka sambil menunjuk ke arah bukit yang dimaksud.
Maka Nabi Isa segera menuju ke tempat yang ditunjuk oleh penduduk desa. Setibanya di sana beliau melihat pemuda itu sedang bersembahyang. Ia berdiri di atas sebuah batu besar.
“Assalamu’alaikum,” kata Nabi Isa menyapa.
Pemuda itu tak menjawab dan tidak pula menoleh kepada Nabi Isa. Ia tetap dalam sembahyangnya.
“Assalamu’alaikum,” salam Nabi Isa kedua kalinya.
Namun pemuda itu tetap diam di tempatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, hingga Nabi Isa mengucapkan salam untuk yang kesekian kalinya. Kemudian dari arah langit Allah berfirman, “Wahai Isa, demikianlah orang yang menerima separo biji atom dari cinta-Ku. Ia tak akan dapat mendengar ucapan manusia. Andai saja engkau potong tubuhnya dengan gergaji, ia tak akan merasakannya karena kecintaannya kepada-Ku.”

Rabu, 18 Juli 2007

Buku Gender yang akan diterbitkan









MATERI 2

BAHAN PEMBELAJARAN
TEORI DAN KONSEP GENDER


DAFTAR ISI

Bab I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Pengertian-pengertian

Bab II URAIAN MATERI

A. BAGIAN SATU

1. Teori Nurture
2. Teori Nature
3. Aliran Equilibrium (Keseimbangan)

B. BAGIAN DUA

KONSEP GENDER
1. Ketidakadilan dan Diskriminasi Gender
a. Marjinalisasi (peminggiran) Perempuan
b. Sub Ordinasi
c. Pandangan Stereotype
d. Kekerasan
e. Beban Ganda
2. Kesetaraan dan Keadilan Gender
3. Penerapan Pengarusutamaan Gender di Indonesia
a. Pluralisme
b. Bukan Pendekatan konflik
c. Melalui proses sosialisasi dan advokasi
d. Menjunjung nilai hak asasi manusia dan demokrasi

Bab III KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konferensi Dunia tentang perempuan yang pertama diadakan di Mexico City oleh PBB tahun 1975, diperoleh gambaran bahwa di negara manapun status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki dan terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan baik sebaai pelaku meupun penikmat hasil pembangunan.

Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan telah dilakukan berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan, namun hasilnya masih belum memadai, Kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat dan pendidikan masih rendah.

Dari kegiatan tersebut lahir pemikiran bahwa hubungan/relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki di dalam dan di luar keluarga perlu diubah, artinya diperlukan suatu perubahan struktural yaitu perubahan relasi sosial dari yang timpang ke relasi sosial yang setara dimana keduanya merupakan factor penting dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan keluarga.

Pada tahun 1980 diselenggarakan Konferensi Dunia tentang perempuan yang kedua di Kopenhagen untuk melihat kemajuan dan evaluasi tentang upaya berbagai negara peserta, tentang keikutsertaan perempuan dalam pembangunan.
Pada tahun 1985 diadakan Konferensi Perempuan ketiga di Nairobi, yang salah satu kesepakatannya adalah bahwa gender digunakan sebagai alat analisis mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara perempuan dan laki-laki diberbagai bidang kehidupan.

Selanjutnya pada tahun 1995, konferensi dunia tentang perempuan yang keempat di Beijing telah menyepakati 12 isu kritis yang perlu mendapat perhatian dan segera ditangani, 12 isu kritis tersebut adalah :
1. Perempuan dan Kemiskinan, utamanya kemiskinan struktural akibat kebijakan pembangunan dan sosial budaya yang berlaku;
2. Keterbatasan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi perempuan untuk meningkatkan posisi tawar menawar menuju kesetaraan gender;
3. Masalah Kesehatan dan Hak Reproduksi perempuan yang kurang mendapat perlindungan dan pelayanan yang memadai ;
4. Tidak kekerasan (Fisik dan non Fisik) terhadap perempuan baik dirumah tangga maupun di tempat kerja tanpa mendapatkan perlindungan secara hukum;
5. Perempuan dan konflik bersenjata/Militer, perempuan banyak menjadi korban kekejaman dan kekerasan pihak yang bertikai, walaupun sudah di jamin oleh Konvensi Genewa 1949;
6. Terbatasnya akses kaum perempuan untuk berusaha di bidang ekonomi Produktif, termasuk mendapatkan modal dan pelatihan usaha;
7. Keikutsertaan perempuan dalam merumuskan dan pengambilan keputusan di keluarga, masyarakat, dan negara masih sangat kurang;
8. Keterbatasan kelembagaan dan mekanisme yang dapat memperjuangkan kaum perempuan dalam sector pemerintahan dan non pemerintahan/swasta;
9. Perlindungan dan pengayoman terhadap hak-hak azasi perempuan secara social maupun hukum masih lemah;
10. Keterbatasan kaum perempuan terhadap media masa sehingga ada kecenderungan media informasi menggunakan tubuh wanita sebagai media promosi dan eskploitasi murahan;
11. Kaum perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air bersih, sampah industri dan lingkungan lainnya;
12. Terbatasnya kesempatan dalam mengembangkan potensi dirinya dan tindak kekerasan terhadap anak perempuan.

Dari berbagai kesepakatan tersebut ternyata teori dan konsep gender perlu dipelajari dan disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat agar kesetaraan dan keadilan perempuan dan laki-laki terwujud.

B. Pengertian-pengertian

1. Emansipasi adalah suatu pandangan yang menciptakan adanya kesamaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki dalam segala aspek kehidupan baik biologis maupun non biologis.
2. Feminisme adalah paham, aliran, gerakan yang memperjuangkan kesamaan dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki dalam segala aspek hidup dan kehidupan manusia.

3. Feminin adalah ciri, karakteristik, sikap dan perilaku dominan yang dimiliki kaum perempuan.

4. Maskulin adalah ciri, karakteristik, sikap dan perilaku dominan yang dimiliki kaum laki-laki.

5. Nature adalah paham yang berpendapat bahwa perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki karena ada perbedaan secara biologis.

6. Nurture adalah paham yang berpendapat bahwa perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki merupakan hasil kontruksi social budaya.

7. Affirmative Action adalah pengembangan program khusus (pemberdayaan perempuan) dalam rangka meningkatkan kesetaraan gender dalam bidang pekerjaan dan pembangunan.

8. Paham Keseimbangan (equilibrium) adalah pandangan yang berlandaskan membina kerjasama dengan prinsip kemitraan dan keharminisan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.

9. Sex (jenis kelamin) adalah perbedaan organ biologis antara perempuan dan laki-laki terutama pada bagian-bagian reproduksi.

10. Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil kontruksi social budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.

11. Bias gender adalah suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan pembangunan.

12. Relasi gender adalah menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan dalam kerjasama saling mendukung atau bersaing satu sama lain.

13. Analisis gender adalah proses menganalisis data dan informasi secara sistematis tentang laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasi dan pengungkapkan kedudukan, fungsi, perna dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, serta factor-faktor yang mempengaruhi.
· Patriarki adalah system yang menganut garis laki-laki (ayah) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
· Matriarki adalah system yang menganut garis perempuan (ibu) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
· Stereotype adalah citra baku yang melekat pada peran, fungsi dan tanggung jawab yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat.


BAB II
URAIAN MATERI

A. BAGIAN SATU

TEORI GENDER
Dalam pembahasan mengenai gender, termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya dua aliran atau teori, yaitu : teori nurture dan teori nature.

Namun demikian dapat pula dikembangkan satu konsep teori yang diilhami dari dua teori tersebut yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yang disebut dengan teori equilibrium, secara rinci teori-teori tersebut diuraikan sebagai berikut:

a. Teori Nurture
Menurut teori nurture perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya adalah hasil konstruksi social budaya, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dab bernegara. Kontruksi social menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikan dengan kelas borjuis dan perempuan sebagai proletar.

Perjuangan untuk persamaan dipeloporai oleh kaum feminis internasional yang cenderung mengejar persamaan (sameness) dengan konsep 50 : 50 (Fifty-fifty), konsep yang kemudian dikenal dengan istilah perfect equality (kesamaan kuantitas). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan baik dari nilai agama maupun budaya. Berangkat dari kenyataan tersebut, para feminis berjuang dengan menggunakan pendekatan social konflik, yaitu konsep yang diilhami oleh ajaran Karl Marx (1818-1883) dan Machiawelle (1469-1527) dilanjutkan oleh David Lockwood (1957) dengan tetap menerapkan konsep dialektika.

Randall Collin (1987) beranggapan keluarga adalah wadah tempat pemaksaan, suami sebagai pemilik dan wanita sebagai abdi. Margrit Eichlen beranggapan keluarga dan agama adalah sumber terbentuknya budaya dan perilaku diskriminasi gender.

Konsep social konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). Bagi kaum proletar tidak ada pilihan kecuali dengan perjuangan menyingkirkan penindas demi untuk mencapai kebebasan dan persamaan. Karena itu aliran nurture melahirkan paham social konflik yang banyak dianut masyarakat sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham social konflik memperjuangkan kesamaan proporsional (perfect equality) dalam segala aktivitas masyarakat seperti di DPR, Militer, menejer, Meneri, Gubernur, pilot dan pimpinan partai politik.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibuatlah program khusus (affirmative action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan agar bisa termotivasi untuk merebut posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki. Akibatnya sedah dapat diduga, yaitu tibulnya reaksi negatif dari laki-laki yang apriori terhadap perjuangan tersebut yang dikenal dengan prilaku “male backlash”.

b. Teori Nature

Menurut teori nature, perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya.

Dalam proses perkembangannya banyak kaum perempuan sadar terhadap beberapa kelemahan teori nurture di atas, lau beralih ke teori nature. Pendekatan nurture dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat.

Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang bersifat naluri (instinct). Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara structural dan fungsional. Manusia baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam kehidupan social pembagian tugas (division of labor) begitu pula dalam kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami isteri, siapa yang menjadi kepala keluarga dan siapa yang menjadi ibu rumah tangga. Dalam organisasi sosial juga dikenal ada pimpinan dan ada bawahan (anggota) yang masing-masing mempunyai tugas, fungsi dan kewajiban yang berbeda dalam mencapai tujuan. Tidak mungkin satu kapal dikomandani oleh dua nahkoda. Paham ini diajarkan oleh Socrates dan Palto, yang kemudian diperbaharui oleh August Comte (1798 –1857), Emile Durkheim (1858 – 1917) dan Herbert Spencer (1820 – 1930) yang mengatakan bahwa kehidupan kebersamaan didasari oleh pembagian kerja dan tanggung jawab.

Talcott Parson ( 1902 –1979) dan Parson & Bales berpendapat bahwa keluarga adalah sebagian unit sosial yang meberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling melengkapi dan saling bantu membantu satu sama lain. Karena itu peranan keluarga semakin penting dalam masyarakat modern terutama dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Keharmonisan hidup hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui “pola pendidikan” dan pengasuhan anak dalam keluarga.

Teori ini melahirkan paham structural fungsional yang menerima perbedaan peran, asal dilakukan secara demokrasi dan dilandasi oleh kesepakatan (komitmen) antara suami isteri dalam keluarga atau antara kaum perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat.

c. Aliran Equilibrium (Keseimbangan)

Disamping kedua Teori tersebut, terdapat kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat bangsa dan negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan dan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satau sama lain. R.H/ Tawney menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan atau budaya pada hakekatnya adalah realita kehidupan manusia.

Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan pula structural fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak punya kelebihan sekaligus kekurangan, kekuatan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerjasama yang setara.

B. BAGIAN DUA

KONSEP GENDER

Istilah gender berasal dari kata Gen yang artinya pembawa sifat embrio laki-laki maupun perempuan. Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentuk budaya yang dikontruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini kita sering sekali mencampur adukan cirri-ciri manusia yang bersifat kodrat dan tidak berubah dengan cirri-ciri manusia yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya, bisa berubah atau diubah.

Pembedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini telah melekat pada manusia perempuan dan laki-laki. Dengan mengenali pembagian gnder sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak permanen, memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi perempuan dan laki-laki yang dinamis yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.

Dengan kata lain mengapa kita perlu memisahkan perbedaan jenis kelamin biologis dan gender adalah karena konsep jenis kelamin biologis yang bersifat permanen dan statis itu tidak dapat digunakan sebagai alat analisis yang berguna untuk memahami realitas kehidupan dan dinamika perubahan relasi lelaki dan perempuan.

Dilain pihak analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas, analisis diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama ini digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat berpotensi menunbuhkan penindasan. Dengan begitu analisis gender sebenarnya menggenapi sekaligus mengoreksi anat analisis sosial yang ada yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi dan perempuan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.

Jadi jelaslah mengapa gender perlu dipersoalkan. Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat di mana manusia beraktifitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang kita,sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.

Secara sederhana perbedaan gender telah melahirkan perbedaan peran, sifat dan fungsi yang terpola sebagai berikut :

· Kontruksi biologis dari ciri primer, sekunder, maskulin, feminim
· Kontruksi social dari peran citra baku (Strereotype)
· Kontruksi agama dari keyakinan, kitab suci agama.

Anggapan bahwa sikap perempuan feminim atau laki-laki maskulin bukanlah sesuatu yang mutlak, semutlak kepemilikan manusia atas jenis kelamin biologisnya.

Dalam memahami konsep gender ada beberapa hal yang perlu dipahami yaitu :

Ketidak-adilan dan Diskriminasi Gender
Ketidak-adilan dan Diskriminasi Gender merupakan system dan struktur dimana perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung berupa dampak perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidak-adilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada dimasyarakat.

Ketidak-adilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja, tetapi juga dialami oleh laki-laki. Meskipun secara agregat ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan gender itu berdampak pula terhadap laki-laki.

Bentuk-bentuk ketidak-adilan akibat diskriminasi gender itu meliputi :

a. Marjinalisasi (peminggiran)perempuan

Proses marjinalisasi (peminggiran) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi di negara berkembang seperti penggusuran dari kampung halamannya, eksploitasi, dsb. Namun pemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang disebabkan karena jenis kelaminnya adalah merupakan salah satu bentuk ketidak-adilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak perempuan yang tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya menfokuskan pada petanni laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki oleh laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara menual oleh perempuan diambil aleh oleh laki-laki. Sebaliknya, banyak lapangan pekerjaan yang memerlukan kecermatan dan kesabaran diberikan kepada perempuan.

Contoh-contoh marjinalisasi :
· Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki.
· Pemotongan padi dengan peralatan mesin yang membutuhkan tenaga dan keterapilan lai-laki menggantikan tangan-tangan perempuan dengan ani-ani.
· Usaha Konveksi yang lebih suka menyerap tenaga perempuan
· Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak diberikan kepada perempuan.

Demikian pula banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru taman kanak-kanak”, sekretaris atau perawat dinilai lebih rendah disbanding pekerjaan laki-laki. Hal tersebut berpengaruh pada pembedaan gaji yang diterima oleh perempuan.

b. Sub Ordinasi ( Penomorduaan )

Sub Ordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama disbanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dulu ada pandangan yang menempakan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsir keagamaan maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum perempuan pada sub ordinat. Kenyataan memperhatikan pula bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan diberbagai kehidupan.

Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak bepergian ke luar negeri, ia harus mendapat izin dari suami. Tetapi apabila suami yang akan pergi ia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapatkan izin dari isteri. Kondisi semacam itu telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting, sehingga jika karena kemampuannya ia bisa menempati posisi penting sebagai pimpinan, bawahannya yang berjenis kelamin laki-laki sering kali merasa tertekan. Menjadi bawahan seorang perempuan yang pada pola pikirnya merupakan makluk lemah dan lebih rendah membuat laki-laki merasa “kurang laki-laki”. Inilah bentuk ketidak-adilan gender yang dialami oleh perempuan namun yang dampaknya mengenai laki-laki tidak merasa dirugikan.

c. Pandangan Stereotype ( Pelabelan Negatif )
Pelabelan atau penandaan (stereotype) yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotype yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan domestik dan sebagai akibatnya ketia ia berada di ruang publik maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah “perpanjangan” peran domestiknya. Misalnya, karena perempuan dianggap pandai merayu maka ia dianggap pas bekerja di bagian penjualan. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas tetapi apabila seorang perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar penilaian terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda namun standar nilai tersebut lebih banyak merugikan perempuan. Contoh :
¨ Label kaum perempuan sebagai “Ibu rumah tangga” sangat merugikan mereka, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi.
¨ Sementara label laki-laki sebagai “pencari nafkah” mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap “sambilan” sehingga kurang dihargai.
¨ Keramah-tamahan laki-laki dianggap merayu dan keramah-tamahan perempuan dianggap genit.



d. Kekerasan ( Violence )

Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata “kekerasan” yang merupakan terjemahan dari “violence” artinya suatu serangan terhadap fisik meupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya.

Pelaku kekerasan bersumber karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di dalam rumah tangga sendiri maupun ditempat umum dan juga dalam masyarakat, misalnya:

¨ Suami membatasi uang belanja dan memonitor pengeluarannya secara ketat.

¨ Isteri menghina/mencela kemampuan seksual atau kegagalan karir suami.

e. Beban Ganda ( Double Burden )

Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa yang lain dilakukan oleh perempuan.

Berbagai pengamatan menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja diwilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.
Contohnya, seorang ibu dan anak perempuannya mempunyai tugas untuk menyiapkan makanan dan menyediakannya di atas meja, kemudian merapikan kembali sampai mencuci piring-piring yang kotor. Seorang Bapak dan anak laki-laki setelah selesai makan yang sudah tersedia, mereka akan meninggalkan meja makan tanpa merasa berkewajiban untuk mengangkat piring kotor yang bekas mereka pakai. Apabila yang mencuci piring isteri, walaupun ia bekerja mencari nafkah keluarga ia tetap menjalankan tugas pelayanan yang dianggap sebagai kewajibannya. Beban kerja semacam itu juga menimpa laki-laki, misalnya saja sepulang dari kantor pada petang hari, pada malam harinya ia harus siskamling untuk memenuhi tugasnya sebagai warga masyarakat setempat.




Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kesetaraan dan Keadilan Gender suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah konstektual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (quota) dan tidak bersifat universal. Pandangan ini membedakan sekurang-kurangnya tiga konteks kehidupan seseorang dalam keluarga, masyarakat dan agama.
Contoh : konstektual dari segi agama mengenai hak waris

Karena pemahaman atau penafsiran terhadap kaidah agama berbeda secara individual sedangkan sifat kaidah (norma statis) tidak dapat berubah, maka seharusnya ada pemahaman yang benar, sehingga tidak berdampak negatif karena aplikasi sebagian dapat menyesuaikan dan sebagian lagi merupakan dogmatis sedang situasional menunjukkan penerapan gender tidak bisa dilakukan sama disemua strata masyarakat. Karena itu Vandana Shiva menyebutnya equality in diversity (persamaan dalam keragaman). Hidup akan memiliki makna bila dilakukan dalam hubungan yang komplementer yang bisa diwujudkan melalui strategi pengarusutamaan gender (gender mainstreaming).

Penerapan Penagarusutamaan Gender di Indonesia

Dari uraian tiga teori gender di atas, maka Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, dalam mensosialisasikan PUG dan penerapannya di Indonesia mengenal prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Pluralistis
Yaitu menerima keragaman budaya, agama dan adat istiadat (pluralistis), karena bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadat tadi merupakan kekayaan dan keragaman yang perlu dipertahankan di dalam pengarusutamaan gender tanpa harus mempertentangkan keragaman tersebut.

b. Bukan pendekatan konflik
Yaitu pendekatan dalam rangka PUG tidak melalui pendekatan dikotomis yang selalu mempertimbangkan antara kepentingan laki-laki dan perempuan.

c. Melalui proses sosialisasi dan Advokasi
Prinsip yang penting dalam PUG di Indonesia adalah melalui perjuangan dan penerapan secara bertahap melalui proses sosialisasi dan advokasi. Dalam PUG tidak semudah membalikan telapak tangan atau ibarat memakan “cabe begitu digigit terasa pedas”. Tetapi pelaksanaannya harus dengan penuh pertimbangan melalui proses sosialisasi dan advokasi yang tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.

d. Menjunjung nilai hak asasi manusia dan demokrasi
Yaitu pendekatan PUG di Indonesia tidak melalui pertentangan-pertentangan dan penekanan-penekanan, sehingga ada kelompok yang merasa dirugikan. PUG di Indonesia penerapannya akan selalu menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi, sehingga akan diterima oleh lapisan masyarakat tanpa ada penekanan-penekanan.


BAB III
RANGKUMAN


Pembahasan mengenai gender tidak dapat dilepaskan dari pandangan/teori yang mendasari pembahasan gender. Secara umum dikenal dua teori mengenai gender, yaitu :

¨ Teori Nurture, menyebutkan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga meningkatkan peran dan tugas yang berbeda.
¨ Teori Nature, menyebutkan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, yang memberikan indikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut diberikan peran dan tugas yang berbeda.
¨ Kedua teori tersebut mungkin dapat dikembangkan aliran ketiga yang bisa disebut equibrium (keseimbangan). Aliran ini menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki.

Para ilmuwan sosial menyatakan bahwa gender adalah perbedaan perempuan dan laki-laki merupakan bentuk budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Perbedaan itu sangat penting karena selama ini sering dicampur adukkan antara ciri-ciri manusia yang kodrati dan non kodrati.

Dengan adanya pembagian tugas yang baik dan seimbang, gender tidak menjadi suatu masaslah, sebab peran perempuan dan laki-laki akan menguntungkan kedua belah pihak. Namun kondisi tersebut di atas masih belum seperti yang diharapkan, bahkan masih terjadi pembakuan peran gender di dalam masyarakat.
Oleh karena itu agama merupakan harapan manusia untuk menjadi pelindung, pembela, pejuang harkat dan martabat manusia yang bernuansa pada hak asasi manusia dan dalam keterkaitannya dengan kesetaraan dan keadilan gender adalah hak asasi manusia perempuan. Ketidak-adilan gender dan diskriminasi merupakan system dan struktur di mana baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban darinsistem ini.

Bentuk ketidak-adilan dan diskriminasi itu meliputi :
1. Marjinalisasi (peminggiran) perempuan.
2. Sub Ordinasi (penomorduaan)
3. Pandangan Stereotype (pelabelan)
4. Violence (Kekerasan)
5. Double Borden (beban ganda)

Pendidikan

Biaya Pendidikan di Indonesia Perbandingan pada Zaman Kolonial Belanda dan NKRI

BIAYA pendidikan akademis tidak pernah murah. Yang membuat biaya pendidikan terlihat tinggi karena dibandingkan dengan penghasilan rata-rata rakyat Indonesia.Di zaman kolonial Belanda, pemerintah kolonial sebenarnya tidak berniat mendirikan universitas. Mereka mendirikan hogeschool agar lulusan dapat membantu mission mereka menjajah rakyat Indonesia dengan mudah karena dapat memanfaatkan tenaga inlanders untuk diangkat sebagai pembantu utamanya. Meski demikian, pemerintah kolonial akhirnya membuat sekolah juga. Pada mulanya, pemerintah kolonial mendirikan sekolah Nederlands Indische Artsen School di Surabaya. Lalu, didirikan School tot Opleiding voor Indische Artsen di Batavia. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta didirikan Algemene Middelbare School (AMS), Middelbare Opleiding School voor Indlandse Amstenaren di Magelang, Middelbare Opleiding School voor Inlandse Bestuur Ambtenaren di Bandung, Middelbare Landbouw School di Bogor dan Ungaran. Juga Veeartsen School di Bogor.
Sekolah-sekolah itu adalah setara dengan jenjang sekolah menengah. Setelah itu, pemerintah kolonial baru mendirikan Rechts Hogeschool (RH) dan Geneeskundige Hogeschool di Jakarta. Di Bandung, pemerintah kolonial mendirikan Technische Hogeschool (TH). Kebanyakan dosen TH adalah orang Belanda. Pada zaman kolonial (kalau tidak salah ingat), hanya ada seorang pribumi yang menjadi guru besar, yaitu Prof Husein Djajadiningrat, yang kemudian menjabat Direktur Departement Van Onderwijs en Eredienst, disusul kemudian oleh Prof Dr Mr Supomo yang mengajar di RH. Sementara universitasnya baru didirikan setelah Perang Dunia II usai dan pemerintah kolonial mau menjajah kembali Indonesia.
BAGI kaum inlanders atau pribumi, mereka agak sulit untuk masuk ke sekolah-sekolah tinggi itu. Bahkan, ketika almarhum Prof Roosseno lulus TH, jumlah lulusan yang bukan orang Belanda hanya tiga orang, yaitu Roosseno dan dua orang lagi vreemde oosterling alias keturunan Tionghoa. Bila demikian, lantas berapa orang yang lulus bersama almarhum Ir Soekarno (presiden pertama RI) dan Ir Putuhena? Di zaman pendudukan Jepang, pernah dicari 100 orang insinyur yang dibutuhkan. Padahal saat itu belum ada 90 orang insinyur lulusan TH Bandung.
Biaya kuliah untuk satu tahun di salah satu sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram (kg) beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg beras. Bila ukuran dan perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas sekarang, sedangkan harga beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk kuliah di universitas biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun. Biaya di MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, adalah sebesar 5,60 gulden per siswa per bulan, setara dengan 224 kg beras. Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per siswa per bulan. Maka, saat itu banyak rekan sekolah saya masuk ke Ambachtschool atau Technische School, karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan yang diperoleh di Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung bekerja setelah lulus.
Meski biaya sekolah mahal, bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomis, tetapi mempunyai bakat dan nilai rapor bagus, kepala sekolah dapat mengajukan pembebasan biaya uang sekolah ke Departement O & E. Biasanya, bila pengajuan pembebasan biaya diajukan oleh Direktur MULO atau AMS, Departemen O & E akan mengabulkan, bahkan amat mungkin siswa bersangkutan juga diberi beasiswa untuk hidup. Dari pengalaman pribadi, orangtua saya berhenghasilan 100 gulden sebulan. Dengan penghasilan itu, hampir mustahil orangtua saya bisa mengirimkan keempat anaknya menikmati pendidikan tinggi. Meski demikian, dengan kerja keras, saya dan semua adik saya dapat menikmati pendidikan tinggi. Bahkan, saya dan beberapa ratus teman pada tahun awal kemerdekaan, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih miskin, dapat menikmati beasiswa.
PADA tahun 1950, NKRI baru saja menyelesaikan perang kemerdekaan melawan penjajah Belanda. Toh Pemerintah NKRI yang masih miskin mampu memprogramkan pendidikan bagi kader bangsanya. Ratusan pemuda Indonesia dibiayai Pemerintah NKRI untuk meneruskan pendidikannya di perguruan tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dewasa ini NKRI sudah begitu kaya, mengapa beasiswa bagi para kader bangsa tidak lancar? Padahal NKRI ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan penghasilan rakyatnya amat rendah. Kepada mereka yang rajin dan cerdas, sudah seharusnya pemerintah memberikan beasiswa karena pendidikan akademis memang mahal.
Seyogianya industri atau instansi pemerintah menyerahkan tugas penelitiannya kepada universitas sehingga biaya penelitian yang harus dipikul perguruan tinggi dapat dibantu atau bahkan dipikul industri dan instansi pemerintah. Dengan demikian, biaya bagi mahasiswa dapat dikurangi.Juga cara perguruan tinggi melakukan pembibitan, jangan langsung diambil dari yang fresh graduate. Lebih-lebih kalau dosen muda itu lulusan perguruan tinggi itu karena akan timbul inbreeding bila mereka tidak disekolahkan ke tingkat lanjutan atau dimagangkan di profesi tertentu. Dosen di perguruan tinggi membutuhkan pengalaman kerja di luar perguruan tinggi, di mana mereka dapat menerapkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasai. Maka, di luar negeri banyak profesor yang diambil dari industri atau instansi. Mereka sudah pernah menguji kemampuannya untuk berkompetisi dengan alumni dari perguruan tinggi lain. Setelah diketahui kemampuannya, mereka dipanggil untuk menjadi profesor di perguruan tertentu.
Profesor yang mengajar di universitas seyogianya mampu mengembangkan ilmunya melalui riset yang dilakukan para kandidat doktor yang dibimbingnya. Bila ada profesor yang tidak membimbing doktor, maka risetnya sudah berhenti atau ilmunya tidak berkembang. Mereka yang tidak mampu mempromotori doktor jangan diangkat sebagai profesor, cukup lektor kepala saja. Apakah tugas seorang profesor hanya mengajar dari buku yang ditulis rekannya saja? Seorang profesor harus mau mengembangkan ilmunya dengan cara mempromotori kandidat doktor bidang ilmunya. Bila tidak demikian, perkembangan perguruan tinggi akan menjadi seperti sekolah menengah atas plus. Pada umumnya, perguruan tinggi mengembangkan ilmu yang dikuasai profesornya, maka biaya untuk belajar di perguruan tinggi selalu mahal. Dari perguruan tinggi inilah timbul inovasi dan kreasi yang selanjutnya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk mempertahankan hidupnya aman dan nyaman.
Perguruan tinggi yang satu akan bersaing dengan perguruan tinggi lainnya, terutama dalam kemajuan ilmu dari hasil risetnya. Mengingat biaya penelitian tidak murah, untuk dapat mengikuti kuliah di perguruan tinggi dibutuhkan biaya tidak sedikit. Bila hasil riset dapat langsung diaplikasikan dan dapat dijual ke industri atau instansi terkait, hasil ini secara kumulatif dapat digunakan membiayai riset berikutnya. Jadi, hasil riset dapat menumbuhkan multiplier effect. BIAYA mengikuti pendidikan di perguruan tinggi yang mahal bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara mana pun tetap tinggi dan penghasilan para profesornya pun amat memadai. Dengan demikian, tidak ada profesor yang bekerja di tempat lain (nyambi), kecuali di bidang pendidikan. Di luar negeri, bila ada seorang direktur industri atau instansi dipanggil untuk menjabat profesor di salah satu perguruan tinggi, jabatannya akan ditinggalkan. Karena, jabatan profesor di perguruan tinggi lebih terhormat dan penghasilannya meningkat. Keadaan ini berbeda dengan situasi perguruan tinggi di Indonesia. Bila seorang profesor diminta menjadi direktur salah satu industri atau instansi, jabatan di perguruan tingginya akan ditinggalkan. Karena, penghasilan profesor di perguruan tinggi Indonesia rendah.
Dengan biaya kuliah yang tinggi, perguruan tinggi diharapkan akan menghasilkan riset dan ilmu yang sepadan. Menurut saya, tidak semua pemuda harus kuliah di perguruan tinggi bila kemampuan berpikirnya tidak cukup baik. Lebih baik mereka masuk akademi yang mengajarkan ilmu terapan, profesi dan kompetensi yang amat dibutuhkan oleh masyarakat.Sebetulnya, yang dibutuhkan masyarakat adalah ilmu dari seseorang yang dapat disumbangkan, bukan suatu gelar yang menempel pada namanya, tetapi tidak dapat dimanfaatkan masyarakat. Janganlah membanggakan diri dengan gelar yang dijualbelikan seperti pernah disinyalir Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Semoga masyarakat tidak silau melihat beberapa gelar yang dipajang di sekitar nama seseorang.