Jumat, 20 Juli 2007

Anak Itu

Jangan! Jangan ambil uangku, aku sudah lama mengumpulkan uang ini, ini buat berobat ibuku, ibuku sakit keras, ibuku sangat memerlukan uang ini. Jangan ambil uangku,” suara itu masih terngiang di telinga Parto.
Sudah empat tahun berlalu tapi dia tak bisa menghilangkan bayangan suara anak itu, seolah-olah anak itu selalu mengikutinya. entah rasa bersalah atau apa yang pasti sejak kejadian itu hidupnya tidak tenang. Dan ia akan tertawa terbahak bahak, anak itu menangis tersedu, dan ia akan terus menunggu anak itu.
***
“Abang ini bagaimana, becus nggak sih cari uang. Anakmu sudah dua hari hanya makan nasi sama garam, belum lagi biaya sekolah nunggak tiga bulan. Bukankah kamu tak ingin anak-anak kita bernasib sama dengan kita,” seperti pagi-pagi sebelumnya istri Parto mulai uring-uringan, hari masih pagi, Parto baru saja terjaga dari tidurnya, sudah disapa oleh uringan istrinya.
“Diam!” bentaknya. “Aku juga sudah tahu, bukannya aku tak peduli, tapi bagai mana lagi, kamu juga tahu aku baru saja di PHK, bukankah uang pesangon masih ada, beri aku waktu untuk cari kerjaan baru,” Parto sudah tidak bisa menahan emosinya, ia sudah bosan dengan omongan istrinya.
“Hah uang pesangon katamu? Uangmu sudah habis sebulan lalu. dan kamu, apa usahamu semenjak di PHK kau hanya tidur, minum, berjudi. Suami macam apa kamu ini. Kalau saja aku tak kerja keras cari kerjaan serabutan kesana-kemari, mungkin kamu sudah jadi bangkai sejak kemarin dulu. Apakah kamu tidak tahu kalau selama ini kamu makan dari hasil cucuran keringatku?” istrinya tak mau kalah.
Sebenarnya kala itu Parto sangat merasa bersalah, namun bagai manapun juga sebagai seorang lelaki ia tak mau harga dirinya direndahkan seperti itu. “Hah, baru segitu saja kau sudah bangga, sudah berani merendahkan aku, sudah mersa berjasa ya? Apakah kau tidak tahu, aku bekerja untuk makan kau dan anakmu sudah hampir sepuluh tahun, aku tak pernah membanggakan diri,” Parto mulai naik pitam.
“Tapi, Bang, bukan itu maksudku, aku hanya…”
“Diam kau, aku muak mendengar ocehanmu,” ia meraih kendi air di sebelah tempat tidurnya, dengan emosi ia lemparkan ke arah istrinya.
Brakk! Pecahan kendi berserakan kemana-mana. Untung saja istri Parto masih sempat mengelak. Ia berlari ke kamar dan menguncinya dari dalam.
“Hai keluar kau! Dasar istri kurang ajar, beraninya kau menghinaku,” Parto mulaikehilangan kendali.
*** Dua hari ini Parto malas balik ke rumahnya. Ia sudah bosan dengan ocehan istrinya, ia sudah muak direndahkan. Ia menghabiskan waktunya dengan berjudi dan minum-minum. Tapi ia perlu uang juga, lama-lama uangnya menipis, sedangkan ia terlalu gengsi untuk minta ke istrinya. Akhirnya Parto pulang juga walau bagaimana pun istrinya pasti akan memberinya uang, begitu pikirnya, bukankah ia bisa mengancamnya. Dengan sempoyongan ia balik ke rumahnya, ia mabuk berat, rumahnya yang hanya beberapa ratus meter dari warung darjo tempat ia mabuk-mabuk dan main judi terasa jauh sekali.
*** Malam itu sangat sepi, tampak seorang bocah penyemir sepatu menghitung uangnya hasil upah kerjanya seharian, rupanya penghasilannya saat ini cukup besar. Dengan hati riang dia timang timang uang itu, dia tak mengira kalau dia terancam bahaya, dan mungkin uangnya akan segera berpindah tangan.
Parto memperhatikan dengan jelas apa yang dilakukan anak itu. Terbersit dipikirannya untuk memiliki uang itu. Tentu saja di saat ini ia sangat membutuhkan uang. Mungkin istrinya tak akan ngomel terus bila ia memberi uang, dan ia akan menikmati kembali tubuh istrinya yang sudah dua bulan ia tak menikmatinya.
***
“Rokayah, buka pintu! Aku bawa uang sekarang, kau tak perlu mengomeliku hari ini, dan tentu saja kau mau melayaniku malam ini, bukan?” Parto memanggil istrinya.
“Sebentar, Bang!” jawab istrinya.
Pintu pun terbuka, Parto masuk dan langsung merebahkan diri di sofa yang bolong-bolong di sana-sini.
“Hai, Bang, dapat uang dari mana kamu?” tanya istrinya.
“Aah, kau tak perlu tahu dari mana uang ini. Yang penting uang ini cukup untuk kau dan anakmu makan seminggu, setelah itu aku akan cari lagi,” sergah Parto mulai naik pitam.
“Bukan begitu, Bang, aku takut kamu berbuat yang tidak-tidak,” jawab istrinya.
“Rupanya kau tidak percaya kepadaku?” tanya Parto.
“Tidak, Bang, aku percaya sama kamu,” istrinya tak mau terus berdebat. “O, aku lupa ada berita baik untukmu, perusahaan tempat kerjamu dulu memangilmu untuk bekerja kembali, ini surat pemanggilannya,” kata istri Parto sambil menyerahkan surat itu.
Parto tercengang, rupanya ia sedikit menyesal, kalau tahu begini ia mungkin tak perlu merampok anak itu.
***
Satu tahun berlalu, kini Parto dan keluargan sudah hidup mapan, tapi ada satu yang masih menjadi beban pikirannya, ia ingin mengembalikan uang yng dulu ia rampok, setiap malam setelah dia pulang kerja ia akan menunggu anak itu ijmbatan tempat dulu ia merampok anak itu. Namun anak itu bagai menghilang ditelan bumi. Ia tak pernah muncul lagi.
“Bagaimana nasib anak itu, apakah ibunya sembuh atau mati, ataukah anak itu mati kelaparan setelah ditinggal ibunya,” mungkin itu yang dipikirkan Parto selama ini.
***
Seperti biasa malam itu Parto masih menunggu kedatangan anak itu, ia berharap suatu saat rasa berdosanya akan dapat hilang, dua jam ia menunggu, anak itu tak muncul juga, uang itu masih digenggamnya. Sekonyong-konyong seseorang merebut uang itu dan berlari, Parto kaget.
“Jambret, maliing,” teriaknya. Tapi kala itu jalan sangat sep, tak ada yang mendengar teriakannya. Bergegas ia mengejar anak itu. Ia raih batu besar di pinggir jalan, ia lemparkan ke arah anak itu, dan bruk! anak itu tersungkur ke jalan aspal. Lemparan Parto tepat mengenai kepala anak itu.
Malang nasib anak itu. Sebelum Parto menghampirinya, sebuah sedan melaju dengan kencang. Dan brak! Anak itu tergilas.
Tiba-tiba semua hening. Parto menghampiri anak itu, dan menatap wajahnya, Parto tercengang, rupanya anak itu, ya, itu adalah anak yang dia rampok dulu.
“Tidak, jangan, jangan mati, aku belum mengembalikan uangmu, tidaaak!” teriaknya. “Aku membunuhnya… Aku membunuhnya, tidaaak!!!”

Ruang Publik: Kebutuhan Demokrasi

Ruang Publik: Kebutuhan Demokrasi

Sesampai di Medinah pada tanggal 27 September 622 M, langkah awal yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah membangun masjid. Masjid ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawy. Baru setelah masjid terbangun, dakwah yang lebih luas dilakukan, ekonomi digalakkan, relasi sosial Mekah-Medinah dirintis, pertahanan dan keamanan kota dibangun.
Bangunan masjid itu sederhana. Dindingnya tersusun dari batu bata dengan perekat lumpur tanah. Atapnya berupa pelepah kurma. Alasnya terdiri dari hamparan pasir dan kerikil yang dipadatkan. Namun, masjid sederhana ini mampu menopang beragam aktivitas warga kota saat itu; bahkan menjadi pusat kegiatan warga kota.
Masjid yang sangat dihormati oleh Umat Islam seluruh dunia itu bukan lagi sekadar tempat melaksanakan ibadah ritual (‘ibadah mahdlah) semata. Ia juga menjadi tempat belajar warga Medinah, tempat memusyawarahkan berbagai persoalan, tempat semua kabilah/suku bisa saling menahan diri untuk bertukar pandangan dan perspektif serta menyelesaikan perselisihan di antara mereka.
Tidak hanya itu, masjid ini juga menjadi tempat tinggal orang-orang miskin dan tempat singgah para pedagang dan musafir. Dalam status dan peran seperti itu, maka Masjid Nabawy merupakan ruang publik warga Medinah. Melalui ruang publik inilah sang arsitek peradaban – Rasul Muhammad SAW -- membangun kota yang kini menjadi tujuan penting bagi umat beliau.
Juergen Habermas, ahli filsafat sosial asal Jerman yang mempopulerkan rintisan Nabi Muhammad SAW dengan istilah ruang publik. Ia mengartikannya sebagai tempat yang perbedaan keyakinan dan pendapat dapat ditampung dan dibicarakan secara bebas. Ruang publik menjadi penopang budaya egaliter dan partisipasi setiap orang. Dalam pengertian itu ruang publik tidak terbatas pada tempat fisik, melainkan sebuah ruang hidup.
Ekspresi perbedaan, spontanitas, dan kreativitas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dalam ruang publik. Ruang publik membebaskan penghuninya dari perasan takut. Ia terbuka bagi berbagai kalangan termasuk orang miskin, dan juga bebas dari hambatan fisik bagi mereka para penyadang cacat (diffable persons). Di ruang itulah warga tidak hanya menjadi bagian dari massa, melainkan menjadi warga yang merdeka, bertanggung jawab, dan bebas berekspresi dan berkarya.
Ruang publik menjadi kebutuhan manusia untuk mengekspresikan dan mengeksplorasi dirinya. Dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan manusia, maka ruang publik bersifat tanggap, demokratik, serta bermakna (Carr, Public Space, 1992).
Ruang yang tanggap mewadahi kebutuhan manusia dalam hal kenyamanan, keleluasaan, hubungan aktif dan pasif dengan lingkungan serta pengembangan dan penemuan. Ruang itu mampu memberikan rangsangan kepada setiap penghuninya untuk berbuat yang terbaik. Setiap orang merasa kebutuhannya terpenuhi ketika berada di dalamnya; sebuah ruang yang tanggap atas pergumulan setiap hari para penghuninya.
Hak masyarakat diwadahi oleh fungsi ruang publik sebagai ruang demokratik yang memenuhi akses secara fisik, visual dan simbolik, juga kebebasan beraktivitas. Sang seniman bisa menyalurkan bakat seninya; para politisi bisa berdiskusi bersama tanpa khawatir mengenai netralitas tempat; para pedagang bisa mencari rejeki darinya; dan anak-anak bisa belajar di dalamnya. Setiap orang merasa nyaman karena haknya diakui dan dihormati.
Ruang-ruang publik juga merupakan ruang yang bermakna bagi sekelompok masyarakat dan individu baik secara pribadi maupun sosial. Berada di dalamnya memampukan untuk optimis dalam menghadapi masa depan. Berada jauh darinya menghadirkan kerinduan untuk berjumpa.
Di Solo kita telah mempunyai banyak ruang publik; taman budaya, pasar, taman rekreasi, jalan raya dan trotoar. Akan tetapi, dalam Roundtable Group Discussion, 3 Juli 2004, terungkap mulai hilangnya ruang publik untuk politik. Ruang publik untuk politik ini adalah tempat bagi masyarakat untuk merembug bersama tentang masalah kebijakan-kebijakan kota. Menyempitnya ruang publik untuk politik ini menjadi bagian penyebab putusnya komunikasi para politisi dengan masyarakat pemilih dan antarpemilih dengan sesamanya.
Masjid Nabawy adalah satu contoh ruang publik yang multifungsi. Ia menampung semua pergumulan zamannya. Dalam bahasa sekarang kita menyebutnya ruang publik yang kosmopolit. Namun, di zaman kosmopolitan seperti sekarang, mengharapkan satu ruang publik yang menampung semua kepentingan penghuninya justru semakin sulit. Sekarang setiap tempat dituntut untuk jelas dan pilah fungsinya; pasar untuk transaksi ekonomi; taman rekreasi untuk berhibur; trotoar untuk pejalan kaki dan sebagainya.
Sekarang kita berpandangan bahwa mencampurbaurkan fungsi satu ruang publik dengan fungsi lainnya hanya mengundang kekacauan yang dapat menghilangkan tiga sifat ruang publik di atas. Ini merupakan perkembangan sosial dan budaya yang patut direnungkan.
Selain penegasan fungsi, masih banyak masalah lain di sekitar ruang publik; seperti pengelolaan dan penataannya. Langkah Nabi Muhammad SAW menerangkan kepada kita betapa pentingnya kehadiran ruang publik dalam hidup, termasuk ruang publik untuk politik. Kini kita dituntut untuk mengambil semangat dari rintisan Nabi itu dengan inovasi yang sesuai zaman.
Mengakhiri edisi ini, kita akan menyimak pusisi dari JC Bloem.
Betapa dia mencintai, jalan-jalan kelabu,
Suasana kabut dan nyaman itu,
Saat senja tiba dan pelapisan jalan
Yang ditinggalkan lembab, beda dan lapang.
Sesekali, mari kita nikmati senja sambil berjalan-jalan di sekitar Tugu 45; taman kota yang seharusnya menjadi arena rekreasi keluarga itu tampak carut marut. Banyak sampah berserakan, debu-debu beterbangan, ruwetnya lalu lintas sekitar tugu juga rumah-rumah kecil yang saling berdempetan; sangat kontras dengan rumah-rumah gedong di belakangnya. Trotoar yang seharusnya menjadi ruang bagi pejalan kaki, telah dipenuhi para pedagang kaki lima hingga kita sering harus turun naik menghindari kios-kios mereka; sungguh suasana yang melelahkan mata, pikiran, juga fisik.
Itulah sebagian kecil dari gambaran akan sulitnya mengelola ruang publik di kota yang arus manusia dan modal sudah sedemikian deras.

(Mengapa) Agama ditinggalkan Umat?

Ramadlan tahun ini seperti “mendekatkan” agama kepada konstituennya. Mengapa demikian, barangkali ini hanya rekaan industri media massa untuk kepentingan bisnisnya. Karena dalam realitasnya lembaga pendidikan yang dilabeli dengan kata “islam” atau menggunakan serapan bahasa arab seperti Madrsah Aliyah (MA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Pesantren, Ma’had cenderung tidak diminati oleh kebanyakan siswa dan orang tua siswa. Bahkan cenderung ditempatkan sebagai sekolah kelas dua, setelah lembaga pendidikan umum seperti SMP, SMA dan SMK. Betulkah ini pertanda bahwa agama sudah tidak menarik lagi?
Banyak Madrasah Aliyah (MA), lebih-lebih yang swasta kian tidak mendapat murid. Sebuah pertanda bahwa dukungan publik terhadap Madrasah Aliyah kian mengecil. Akibatnya lembaga pendidikan islam kian tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dalam pasar global. Sederet alasan dapat disusun sebagai jawaban atas fenomena ini. Penelitian UNU selama ini menunjukkan bahwa tidak banyak siswa yang bangga sebagai siswa Madrasah Aliyah dan tidak yakin dapat bersaing dengan lulusan lembaga pendidikan umum dalam persaingan untuk mendapatkan kerja atupun perguruan tinggi yang bermutu. Sementara lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang akan melanjutkan ke jenjang SLTA tidak berminat ke MA karena “takut” menemukan kesulitan dalam pembelajaran seperti bahasa arab dan mata pelajaran lain yang cenderung bernuansa kearab-aban, tanpa disadarkan tentang kegunaan dan manfaatnya.
Khalayak sendiri kadang ada yang tidak kenal dengan istilah Madrasah itu sendiri. Timbul pertanyaan mengapa harus dengan bahasa Arab kalau maksudnya untuk menyebut lembaga pendidikan islam sekelas SLTA. Ini memang pilihan ideologis, mengapa memilih MA yang nota bene adalah lembaga pendidikan untuk mengembangkan corak pendidikan islam. Hal yang naif adalah manakala masyarakat membandingkan antara Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Atas.

Kamis, 19 Juli 2007

Seorang Bani Israil dan Seekor Anjing

Seorang Bani Israil dan Seekor Anjing


Dikisahkan, ada seorang dari Bani Israil yang selalu menumpuk-numpuk dosa. Ketika ia berjalan dan sampai di sebuah sumur tiba-tiba datanglah seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya karena kehausan. Ia pun merasa kasihan. Lalu ia turun ke dalam sumur. Di dalam sumur ia melepas sepatunya kemudian mengisinya dengan air. Lalu ia minumkan air itu pada si anjing.
Maka Allah berterima kasih atas perbuatannya dan mengampuninya. Allah berfirman kepada nabi yang ada pada masa itu, “Katakanlah kepadanya, bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosanya karena kasih sayangnya pada makhluk-Ku.”

Abu Sulaiman dan Seekor Keledai

Abu Sulaiman dan Seekor Keledai


Abu Sulaiman Ad-Darani berkisah:
Suatu ketika aku berkeliling kota Bagdad dengan mengendarai seekor keledai. Karena jalannya yang terlalu lambat maka aku pukul keledaiku dengan dua atau tiga kali pukulan, agar ia lebih cepat jalannya. Selesai aku memukulnya keledai itu mengangkat kepalanya dan memalingkannya ke arahku seraya berkata, “Hai Abu Sulaiman, sesungguhnya pembalasan akan terjadi di hari kiamat. Maka, bila engkau ingin dibalas sedikit, sedikitkanlah pukulanmu. Dan bila engkau ingin dibalas lebih banyak, maka perbanyaklah pukulanmu kepadaku.”

As-Syibli dan Seekor Anak Kucing

As-Syibli dan Seekor Anak Kucing


Setelah sekian waktu lamanya Imam As-Syibli wafat, seorang sahabatnya memimpikannya. Dalam mimpinya ia berkata, “Apa yang diperbuat Allah kepadamu, Syibli?”
As-Syibli menjawab, “Allah telah menempatkanku di tempat yang mulia. Ia berkata kepadaku, “Wahai Syibli, tahukah engkau apa yang membuat-Ku berkenan mengampunimu?”
“Kebaikan amalku, ya Allah,” jawabku.
“Bukan,” kata Allah.
“Karena keikhlasanku dalam beribadah.”
“Tidak.”
“Karena ibadah haji, puasa, dan shalatku.”
“Tidak.”
“Karena kelanggenganku dalam mencari ilmu.”
“Bukan.”
Lalu aku berkata, “Ya Rabbi, semua itu adalah amalanku yang karenanya aku harap Engkau mau memaafkanku.”
Allah berfirman, “Semua itu tidaklah membuat-Ku mau mengampunimu.”
“Lalu karena apa Engkau berkenan mengampuniku?” tanyaku kemudian.
Allah berfirman, “Ingatkah engkau ketika engkau berjalan di pinggiran kota Bagdad, engkau menemukan seekor anak kucing yang kedinginan dan merapatkan tubuhnya ke sebuah tembok. Kemudian, karena merasa kasihan engkau mengambil anak kucing itu dan memasukannya ke dalam saku jubahmu agar ia terjaga dari kedinginan?”
“Ya,” jawabku.
Allah berfirman, “Karena rasa kasihmu pada anak kucing itulah Aku berkenan mengampunimu.”